Memelihara Fitrah Diri
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen
UIN Bandung dan Sekolah Tingggi Ilmu Dakwah (STID) Ciamis-Jawa Barat)
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah
Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada
perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. al-Ruum (30): 30).
Di
negara kita (Indonesia), hari Raya Idul Fithri merupakan puncak pengalaman
hidup spiritual dan sekaligus sosial keagamaan. Dan dapat pula dikatakan bahwa
seluruh kegiatan masyarakat selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan
hari besar itu dengan tradisinya masing-masing. Mereka bekerja dan mengumpulkan
atau menabung untuk merayakan dan menikmati
Idul Fithri tersebut. Hari raya yang juga disebut lebaran itu hampir sama
dengan perayaan Thanks Giving Day di Amerika Serikat sana. Pada saat
rakyat negeri tersebut bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama
seluruh keluarganya. Hilir-mudik lebaran rakyat Indonesia juga mirip dengan
yang dilakukan orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day itu.
Semuanya merasakan dorongan amat kuat untuk bertemu orangtua, keluarga dan
sanak saudara, karena justru dalam suasana keakraban kekeluargaan itu hikmah
Idul Fithri atau Thanks Giving Day dapat dirasakan sepenuh-penuhnya. Sebagai
hari raya keagamaan, Idul Fithri intinya adalah makna keruhanian. Tapi karena
dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi kekeluargaannya, maka
Idul Fithri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Dan juga dilihat dari
segi bagaimana orang bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fithri juga
mempunyai makna ekonomis yang besar sekali bagi masyarakat Indonesia. Cukup
sebagai indikasi tentang hal itu ialah bagaimana daerah-daerah tertentu
memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik, sehingga pemerintah
daerah bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan kedatangan
warganya yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Makna
keruhanian Idul Fithri dapat dipahami dengan baik jika kita dapat melihatnya
dari sudut pandang keagamaan yang melatarbelakanginya. Seperti halnya dengan
semua pranata keagamaan, Idul Fithri berkaitan langsung dengan ajaran dasar
Islam. Karena itu makna Idul Fithri merupakan rangkuman nilai-nilai Islam dalam
sebuah kapsul kecil, dengan muatan simbolik yang sangat sentral. Mayoritas umat
Islam mengartikan Idul Fithri dengan arti "kembali menjadi suci ",
pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasullullah SAW: “Barang siapa yang
melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah
SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah
seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya " (HR Bukhari).
Makna
asal kata-kata "fithri" kiranya sudah jelas, karena satu akar
dengan kata "fitrah" (fithrah), yang artinya "Pencipta"
atau "Ciptaan". Secara kebahasaan, fithrah mempunyai
pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu "ciptaan"
atau "penciptaan". Oleh sebab, segenap kehidupan manusia, seperti
makan, minum, tidur, dan aktivitas apa pun yang sifat wajar, dengan tidak
berlebihan atau melewati batas, adalah fitrah. Semuanya itu bernilai
kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari desain Allah. Karena itu
berbuka puasa atau kembali makan dan minum disebut ifthar, yang secara
harfiah dapat diartikan "memenuhi fitrah" yang suci dan baik.
Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan
bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa
Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal
yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, menikah, bekerja dan
seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi Saw pernah memberi peringatan keras
kepada salah seorang sahabat beliau, bernama Utsman ibn Mazh'um, yang ingin
menempuh hidup suci dengan melakukan semacam “pertapaan”. Nabi juga melarang
keras pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah
seumur hidup. Karena semuanya itu tindakan yang menyalahi fithrah, jadi
juga tidak sejalan dengan sunnah. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam
hari raya Idul Fithri mengandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari
manusia dan kemanusiaan. Kewajaran itu adalah pemenuhan keperluan untuk makan
dan minum sehingga makna sederhana Idul Fithri dapat diartikan "Hari
Raya Makan dan Minum" setelah berpuasa sebulan. Selain itu, Idul
Fithri merupakan ajaran dasar agama Islam, yakni manusia diciptakan Allah dalam
fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia
sebelum manusia itu lahir ke bumi.
Makna
idul fitri secara garis besarnya mengandung tiga arti penting, yaitu:
Pertama, Hari Asal Kejadian Manusia.
Orang
yang idul fitri bagaikan manusia yang lahir kedunia ini dalam keadaan suci dan
bersih. Artinya manusia lahir tanpa membawa dosa apapun, sekalipun anak dari
hasil jinah, yang berdosa adalah kedua orang tuanya.
Kedua, Hari untuk Makan, Minum dan
Bergembira.
Pada
perayaan idul fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diperintahkannya berbuka (tidak
berpuasa) dengan melaksanakan makan, minum dan bergembira bagi umat Islam (yaum
ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari diharamkan untuk
berpuasa.
Ketiga, Hari Kemenangan.
Kemenangan
bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjihad (perang) melawan hawa
nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat idul fitri mereka merayaan kemenangan
tersebut dengan penuh rasa kegembiraan.
Dengan
demikian, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh kita dalam rangka
memelihara dan menjaga kesucian (fitrah) diri tersebut, yaitu:
Pertama,
Ihsan, yakni senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah SWT.
dalam setiap gerak dan langkah kehidupannya. Ihsan adalah lawan dari sayyiah
(berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan
diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya. Ihsan terbagi menjadi dua
macam, yaitu ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Ihsan
kepada makhluk
ciptaan Allah.
Kedua,
Bersyukur atas berbagai nikmat, yakni berterima kasih, senang dan menyebut
nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya baik dengan lisan, hati maupun
perbuatan. Dengan begitunya banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia,
sehingga mereka tidak akan mampu menghitung atas nikmat-nikmat itu. Dan apabila
manusia bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, maka Allah akan menambahnya nikmat
tersebut, sedangkan apabila manusia mengingkarinya maka Allah akan mengancamnya
dengan siksaan yang pedih (lihat QS. Ibrahim: 7).
Ketiga, Istiqamah,
yakni konsisten dalam menempuh jalan Islam yang lurus (benar) dalam keyakinan
(keimanan) dan kebenaran (haq) dengan tidak berpaling dari keyakinan dan
kebenaran tersebut. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk
ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin serta meninggalkan semua bentuk
larangan-Nya. Sebab ketika seorang muslim dalam menegakkan keyakinan dan
kebenaran sudah pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, seperti
ejekan, hinaan, kebencian dan lain-lain dari orang lain, namun orang muslim
yang istiqamah tidak akan berubah dan
tidak akan goyah, baik sikap, pikiran dan i’tikadnya dengan berbagai tantangan
dan rintangan yang dihadapinya, malahan semakin kuat dan tangguh dalam
menegakkan keyakinan dan kebenarannya itu.
Wa-Allahu ‘Alam.