Selasa, 08 Maret 2016

Sang Juru Damai



“Sang Juru Damai” Non Sektarian
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua Tanfidz MWC NU Kec. Cibiru Kota Bandung dan Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)

Sehari menjelang perayaan hari Pahlawan 10 November 2006,  tepatnya hari Kamis 9 November 2006, salah satu dari dua orang putra terbaik bangsa dari Jawa Barat mendapat penghormatan dan dikukuhkan oleh presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri sebagai pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana, Dia adalah KH Noer Ali dari Bekasi. Bahkan sosok beliau ini dijadikan sebuah film yang berjudul “Singa Kerawang-Bekasi”.
Mungkin, bagi warga Jawa Barat khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umunya tidak banyak yang tahu dengan sosok KH Noer Ali. Maka penulis akan mencoba sekilas mendeskripsikan sosok ulama dan pahlawan nasional dari Jawa Barat ini.
Kalau Anda warga hendak bepergian ke Jakarta tentu sering sekali melewati jalan dikenal dengan Kalimalang. Itulah jalan Kyai besar Noer Ali. Siapakah dia? Noer Ali berdarah betawi meski lahir di Bekasi. Dia dikenal ulama sekaligus guru namun saat Indonesia dijajah sekutu dia ikut perang angkat senjata sebab menurutnya cinta tanah air sebagian dari iman". Khabarnya belum berumur lima tahun, Noer Ali sudah menghafal Alquran. Berbekal ilmu agama, serta cintanya pada Indonesia, negara mengukuhkannya sebagai pahlawan karena keberaniannya melawan penjajah.
Pada masa penjajahan Belanda di daerah Jawa Timur kita kenal dengan Komandan resimen BKR, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, komandan batalyonnya KH. Yusuf Hasyim Di Jawa Tengah komandan resimennya Kasman Singodimedjo. Di Jawa Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Karanwang-Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang tidak bergelar “Kiyai Hadji” saat itu.
KH Noer Ali lahir pada tanggal 15 Juli 1914 di sebuah kampung Ujungmalang (saat itu, sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Maimunah binti Tarbin. Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia ?”. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Setelah enam tahun belajar di Mekah dan kembali ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren At-Taqwa di Ujungmalang (Bekasi). Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang  melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung kekampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Bahkan konon kabarnya beliua ini memiliki “karamah dan sakti”. Sehingga untuk memperkuat mental anak buahnya melalui pengamalan tarekatnya ini ia tidak mempan ditembus peluru, sehingga Penjajah Belanda pun kesulitan menangkap KH. Noer Ali , sering menghilang dan tidak dapat dilihat oleh mata awam hingga masyarakat pun memberi sebutan beliau sebagai ”belut Putih” yang sangan licin. Melaui wirid-wirid yang harus diamalkan. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Pada Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.
Pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Dan pada lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dantahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai “juru damai”, tidak memihak pada salah satu aliran, mazhab dan ormas Islam manapun saat itu. Tokoh Muhammadiyah, NU, maupun Persis dan lain-lain, beliau rangkul dan diajak bekerjasama, dalam rangka membangun ukhuwah (persaudaraan) bahkan beliau juga melindungi warga Cina tionghio di tanah air. Dan Pada masa penjajahan Jepang, ia pernah mengangkat salah seorang warga Cina menjadi Kepala Sekolah. 
Beliau tutup usia pada tanggal 3 Mei 1992. Masyarakat dan bangsa ini merasa sangat kehilangan sosok ulama dan pejuang yang telah banyak berjasa bagi negara. Maka tahun 2006 Pemerintah memberikan gelar pahlawan Nasional Kepada KH. Noer Ali dan Namanya pun di abadikan menjadi nama jalan KH. Noer Ali di kalimalang bekasi. Kini Pondok pesantrennyapun berkembang dengan Pesat.
Dari uraian di atas, dapat diambil intisasrinya bahwa sosok KH Noer Ali, sebagai pejuang dan Ulama non sektarian patut kita jadikan teladan bagi kita semua. Karena saat ini dan di masa yang akan datang bangsa ini sangat membutuh seorang figur seperti beliau. Semoga, “Noer Ali-Noer Ali baru” bermunculan ditanah air ini. Wa Allahu ‘Alam.









Paradigma Dakwah Dalam Pendekatan Sufistik



Paradigma Dakwah Dalam Pendekatan Sufistik
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)


            Imam As-Syafi’i berkata: Aku hidup bersama dengan orang-orang Sufi, maka Aku bisa mengambil manfaat dari mereka dalam tiga Kalimat : Waktu adalah pedang, jika engkau tidak bisa memotongnya (menggunakanya), maka dia yang akan memotongmu (menjadikan engkau celaka dan rugi) Dirimu dan keinginan nafsumu, jika engkau tidak menyibukkanya dengan sesuatu yang benar, maka dia akan menyibukkanmu dengan urusan yang bathil
K etidak beradan (kefaqiran) merupakan penjagaan dari Allah.
(Imam Baiquni, dalam Kitab Manaqib al-Syafi’i).
Dakwah secara etimologi dapat diartikan sebagai seruan, ajakan, dan panggilan. Dapat pula diartikan mengajak, menyeru, memanggil dengan lisan atau dengan perbuatan nyata. Atau dengan kata lain,  bahwa dakwah adalah proses penyampaian pesan Islam dari seseorang (sebagai da’i) kepada orang lain (mad’u), baik secara individu maupun secara kelompok. Penyampaian pesan tersebut dapat berupa perintah untuk melakukan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya (amr ma’ruf nahy al-munkar).
Usaha dakwah hendaknya dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk terbentuknya individu yang baik (khayr al-nafsi), keluarga yang bahagia (khayr al-usrah) dan masyarakat yang terbaik (khayr al-ummah) dengan cara taat menjalankan ajaran Islam melalui bahasa lisan, tulisan, perbuatan, maupun keteladanan.
Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja dan karya besar manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagian atas dasar ridha Allah SWT. Dengan demikian, baik secara teologis maupun sosiologis dakwah akan tetap ada selama umat manusia masih ada dan selama Islam masih menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah) bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan salah satu unsur dakwah.
            Memang bukan hal yang mudah untuk menyusun strategi dan metode dakwah yang baik dan tepat sasaran dalam konteks masyarakat seperti sekarang ini. Kesulitan itu telihat tatkala kita menghadapkan pandangan ke depan secara langsung ketika berhadapan dengan hamparan tatanan masyarakat informatif dan industrial dengan segala fenomena dan dampak yang ditimbulkannya. Begitu rumitnya ketika kita akan memetakan arah perkembangan masyarakat itu, sehingga kesulitan juga untuk menyiasatinya. Untuk  mewujudkannya diperlukan metode dan strategi dakwah secara serius.
            Kemudian apa yang dapat kita lakukan supaya Islam tetap dapat disebarluaskan di tengah- tengah globalisasi peradaban yang serba industrial itu ? Ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Kecenderungan peradaban global (millenium ke-3) bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dihadapi dengan penuh kearifan dan manusiawi. Iptek yang terus berkembang harus menjadi media pengembangan religiusitas dan jalan mendekatkan diri pada Allah. Pilihan iman dan Islam sebagai jalan hidup (way of Life) harus bersedia dan berani berperan dalam dinamika sejarah yang sering kali terjadi konplik dan kekeras (jasmani dan ruhani) masyarakat global dan modern.
            Masyarakat global saat ini juga menampakkan ciri-ciri sebagai masyarakat fungsional, teknologis, saintifik, terbuka, pemiskinan agama, dan masyarakat permisif.
            Perlu disadari bahwa peradaban global dan industrial merupakan tahapan sejarah abad ke-21 yang tak terelakkan. Termasuk masyarakat Indonesia, tidak lama lagi akan memasuki mekanisme pasar (perdagangan bebas) akan berada dalam pusaran peradaban tersebut. Peradaban industrial disamping membawa kemajuan dan kemudahan hidup, juga menimbulkan persoalan sosial dan budaya yang luas akibat ketidaksiapan mental dan fisik sebagian manusia.
            Harus pula disadari bahwa gerak pembangunan dan peradaban demikian disebabkan karena tidak seluruhnya terekam secara memadai dalam panduan cita-cita Islam. Pemikiran dan pembaharuan pemikiran Islam jauh dari pengalaman industrial, sehingga sulit diketemukan rujukan pemikiran Islam yang cukup berarti bagi penyelesaian berbagai persoalan kemanusian didalamnya.
            Disamping itu, proses dakwah Islam perlu dilaksanakan secara tepat dan benar, untuk merangsang daya spiritual sebagai pondasi peradaban industrial. Dakwah, baik secara individu maupun kolektif (organisasi) harus dikembangkan sebagai wujud kebudayaan yang meliputi seluruh aspek kehidupan,  dalam mewujudkan kemanusiaan sejati. Dakwah juga harus dapat memberi arah peradaban dan perubahan seluruh dimensi kehidupan manusia dan masyarakat secara transformatif menuju kesejahteraan hidup duniawi yang Islami.
            Proses dakwah juga perlu menaruh perhatian terhadap berbagai persoalan yang dalam masyarakat global dan industrial. Berbagai persoalan tersebut akan berkaitan dengan tumbuhnya kawasan perumahan dan industri, perilaku dan tatanan sosial-budaya yang belum diketemukan rujukannya dalam pemikiran klasik, munculnya kelompok kelas baru dalam masyarakat (kelas menengah, generasi muda terdidik, profesional, politisi, birokrat, intelektual dan lain-lain), masyarakat miskin (material dan spiritual), masyarakat marjinal, penyimpangan sosial serta keagamaan, komunitas pekerja buruh dan sebagainya.
            Secara operasional proses dakwah harus diarahkan pada pelayanan sosial bagi penyelesaian hidup masyarakat modern sebagai wujud tanggung jawab atau komitmen kemanusiaan. Untuk itu diperlukan perumusan dan penataan etos kerja, pengorganisasian dan strukturisasi dakwah secara solid sehingga menempatkan kerjasama dengan berbagai elemen sebagai pengendalian perubahan kearah kehidupan yang lebih manusiawi,  sejahtera, dinamis, dan berkemajuan atas dasar prinsip nilai-nilai ajaran Islam.
Profesionalitas pelaku dakwah ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan secara maksimal bebagai media komunikasi, baik elektronik maupun cetak, seperti televisi, radio, internet, buku, majalah dan koran dan media sosial lainnya. Namun, sesuai kecenderungan masyarakat global-industrial yang membelah keutuhan kemanusiaan menjadi bagian-bagian yang rumit, sulit menentukan sosok mubaligh yang memiliki kemampuan professional-generalistik. Karena itu pemanfaatan media di atas memerlukan pembagian tugas, terprogram dan kerjasama secara terus menerus sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat.
            Miskin dan gersangngnya spiritual masyarakat modern perlu diantisipasi melalui layanan dan konsultasi dakwah, pengembangan hidup jamaah dan bimbingan pengkayaan spritual. Maka disinilah, pendekatan etis dan tasawuf (sufistis) sangat mungkin dapat dipertimbangkan guna memperkaya pengalaman ritual dan spiritual melalui pengembangan tradisi pikir dan dzikir dalam pengertian luas.
            Masyarakat lapisan bawah dan pekerja kasar, seperti buruh, petani, nelayan tradisional dan sebagainnya akan semakin meluas kearah kawasan industri. Maka juru dakwah (da’i) harus menaruh perhatian dan terlibat aktif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
            Keterasingan sosial juga meluas searah perkembangan kantong-kantong industri terlepas dari lingkungan di masyarakat. Situasi demikian tidak hanya dialami oleh kaum marginal di perkotaan, tetapi juga kelompok elit yang terlepas dari struktur besaran masyarakat. Untuk kasus demikian perlu pengembangan semangat hidup berjamaah yang tidak semata berdasar status dan profesi tetapi juga membangun semangat kebersamaan, kerjasama dan tolong-menolong dalam arti luas. Keterasingan demikian juga dapat dialami akibat keagamaan yang reduksi dalam bentuk perilaku sempalan akibat ketidakmampuan mengintegrasikan ketentuan ajaran Islam anatara yang bersifat ritual formal dengan tuntutan hidup masyarakat modern dan industrial. Kondisi tersebut sering dihadapi generasi muda muslim berpendidikan. Untuk itu perlu dikembangkan pemikiran dan wawasan keagamaan yang menempatkan iptek dan kebudayaan sebagai jalan mendekati Tuhan di samping pemahaman substansi dan pesan moral firman Allah.
            Cara dakwah sekarang harus mengarah pada penanganan masalah riil. Artinya bahwa kegiatan dakwah harus merupakan usaha pemecahan atau penyelesaian masalah kehidupan umat dan masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik dalam kerangka masyarakat modern.
            Menurut Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, . Nafaisu al-uluwiyyah fi al-masail al-shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-masaail,  tasawuf adalah hijrahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak mulia. Seorang sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan amal, perkataan, niat dan perbuatan riya, baik  dhahir maupun  bathin.
            Secara garis besarnya,  dakwah melalui pendekatan sufistik bertujuan untuk membersihkan jiwa (batin ) manusia, yaitu sedekat mungkin dengan Allah (taqarub  ila Allah), seperti zikir, zuhud, tazkiyatun nafsi (membersihkan jiwa) dan Ma’rifat (terbukanya hijab ketuhan), dengan jalan proses Takhalli, Tahalli dan berujung pada Tajalli. Tahapan maqam yang harus dilalui para sufi pada umumnya terdiri tujuh maqam, yaitu  maqam taubat, maqam wara, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakal dan maqam ridha.
                        Pertama, taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa. 
            Kedua, Wara adalah meninggalkan hal-hal  yang syubhat (tarku syubhat)  yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang  belum jelas haram dan halalnya. Wara itu ada dua tingkat, wara segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah. Dan wara batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Allah SWT.
            Ketiga, zuhud yakni upaya melatih dan menyucikan hati  seseorang untuk melepas ikatan hati dengan dunia.
            Keempat, fakir di rumuskan dengan tidak punya apa-apa dan juga tidak menginginkan apa-apa, kecuali keridhaa Allah.
            Kelima, sabar, yakni memiliki kemapuan untuk menahan segala ujian dan cobaan hidup karena mengharapkan keridhaan Allah.
            Keenam, tawakal, yakni menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah, setelah berusaha semaksimal mungkin.
            Ketujuh, ridha, yakni merespon dan merubah segala ujian dan cobaan menjadi kesenangan dan kenikmatan hidup.
            Dari uraian di atas, dapa diambil benang merahnya, bahwa beredaan masyarakat modern-industri kehidupannya penuh  persaingan (kompetisi) hidup yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesibukan aktivitas kerja dan karir, yang mengarah pada lupa waktu, mengejar mencintai materi atau harta dunia yang berlebihan (hubbub dunya), hidup nafsi-nafsi (individualisti) tidak peduli orang lain dan yang lainnya. Sehingga dengan keberadaan seperti itu membuat mereka lupa terhadap kebutuhan batiniyah (kebutuhan jiwa).  Sehingga batiniyah mereka kering dan gersang dari nilai-nilai spiritual. Maka batin dan jiwa mereka membutuhkan “siraman spiritual”. Dan disinilah dakwah dengan pendekatan sufistik berpeluang dan  berperan untuk mengisi batiniyah masyarakat modern-induntri tersebut, dengan melalui berbagai maqam (stasiun) sebagai berikut;  pertama, maqam Taubat, yakni selalu  mengingat Allah kapan di manapun, yang diwujudkan dengan mejalankan kewajiban terhadap ajaran agama Islam. Kedua, maqam Wara, yakni selalu menjauhkan diri hal belum jelas halal dan haranya (syubhat), yang diwujudkan dengan cara selektif bertindak dan mengkonsumsi terhadap yang larang Allah, yaitu yang diharamkan. Ketiga, maqam Zuhud, yakni upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk tidak terlalu cinta dan berlebihan dalam urusan dunia (hubbub dunia), sehingga melupakan Allah. Keempat, maqam Fakir, yakni segala aktivitas yang mereka kerjakan, tidak lain hanya mengharapkan keridhaa Allah. Kelima, maqam Sabar, Yakni memiliki kemapuan untuk menahan segala ujian dan cobaan hidup karena mengharapkan keridhaan Allah memiliki kemapuan untuk menahan segala ujian dan cobaan hidup demi mengharapkan keridhaan Allah. Keenam, maqam Tawakal, yakni menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah, setelah berusaha semaksimal mungkin dan Ketujuh, maqam ridha, yakni merespon dan merubah segala bentuk ujian dan cobaan menjadi kesenangan dan kenikmatan hidup. Dengan demikian, masyarakat modern-industrial diharapkan batiniyahnya dapat dikendalikan dan tidak lagi kering dan gersang dari nilai-nilai spiritual  lupa diri, lupa daratan, dan bahkan tidak lagi  lupa kepada Sang Penciptanya, yaitu Allah Subnahu Wa Ta’ala. Pada akhirnya,  batin dan jiwa mereka menjadi tenang, damai dan mendapatkan ridha Allah dalam menjalani aktivitas hidup dan kehidupannya. Amin. Wa-Allahu Alam.