“Sang Juru Damai”
Non Sektarian
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua
Tanfidz MWC NU Kec. Cibiru Kota
Bandung dan Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)
Sehari menjelang
perayaan hari Pahlawan 10 November 2006,
tepatnya hari Kamis 9 November 2006, salah satu dari dua orang putra
terbaik bangsa dari Jawa Barat mendapat penghormatan dan dikukuhkan oleh
presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri sebagai pahlawan Nasional dan
Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana, Dia adalah KH Noer Ali dari
Bekasi. Bahkan sosok beliau ini dijadikan sebuah film yang berjudul “Singa
Kerawang-Bekasi”.
Mungkin, bagi
warga Jawa Barat khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umunya tidak banyak
yang tahu dengan sosok KH Noer Ali. Maka penulis akan mencoba sekilas
mendeskripsikan sosok ulama dan pahlawan nasional dari Jawa Barat ini.
Kalau Anda warga hendak bepergian ke Jakarta tentu sering sekali melewati
jalan dikenal dengan Kalimalang. Itulah jalan Kyai besar Noer Ali. Siapakah
dia? Noer Ali berdarah betawi meski lahir di Bekasi. Dia dikenal ulama
sekaligus guru namun saat Indonesia dijajah sekutu dia ikut perang angkat
senjata sebab menurutnya cinta tanah air sebagian dari iman". Khabarnya belum
berumur lima tahun, Noer Ali sudah menghafal Alquran. Berbekal ilmu agama,
serta cintanya pada Indonesia, negara mengukuhkannya sebagai pahlawan karena
keberaniannya melawan penjajah.
Pada masa penjajahan Belanda di daerah Jawa Timur kita kenal dengan Komandan
resimen BKR, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, komandan
batalyonnya KH. Yusuf Hasyim Di Jawa Tengah
komandan resimennya Kasman Singodimedjo. Di Jawa
Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Karanwang-Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang
tidak bergelar “Kiyai Hadji” saat itu.
KH Noer Ali
lahir pada tanggal 15 Juli 1914 di sebuah kampung Ujungmalang (saat itu, sekarang menjadi
Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis,
Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani
dan ibunya bernama Maimunah binti Tarbin. Meskipun ayahnya hanya
sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali
pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus
dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer
Ali belajar di Mekah.
Saat di
Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar
asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa
menjajah Indonesia ?”. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang
kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar
Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang
dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar
Betawi di Mekah (1937).
Setelah enam
tahun belajar di Mekah dan kembali ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren At-Taqwa
di Ujungmalang (Bekasi). Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai
Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal
19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada
Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan
kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi
Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam
pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji
Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan
pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali
menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk
bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
K.H. Noer Ali
pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan
Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat
itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta
rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari
kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat
bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah
kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan
Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu
dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan
rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini
membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung
dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang
melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung
kekampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H.
Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Bahkan konon kabarnya beliua
ini memiliki “karamah dan sakti”. Sehingga untuk memperkuat mental anak
buahnya melalui pengamalan tarekatnya ini ia tidak mempan ditembus peluru, sehingga
Penjajah Belanda pun kesulitan menangkap KH. Noer Ali , sering menghilang dan
tidak dapat dilihat oleh mata awam hingga masyarakat pun memberi sebutan beliau
sebagai ”belut Putih” yang sangan licin. Melaui wirid-wirid yang harus
diamalkan. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer
Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi
Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta
atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor.
Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang.
Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama
pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian
Roem-Royen. Pada Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan
1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi
Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan
kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan
kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya
selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution,
yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah
perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan
maupun melalui jalur politik.
Pemikiran
Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah
dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah
merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga
Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah
Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia
(SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga
ke luar Jawa. Dan pada lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol.
Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia
Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950,
Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.Tahun 1956, ia diangkat menjadi
anggota Dewan Konstituante dantahun 1957 menjadi anggota Pimpinan
Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim
Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung,
yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat Tahun
1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi
Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam
perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai “juru damai”, tidak memihak
pada salah satu aliran, mazhab dan ormas Islam manapun saat itu. Tokoh Muhammadiyah,
NU, maupun Persis dan lain-lain, beliau rangkul dan diajak bekerjasama, dalam
rangka membangun ukhuwah (persaudaraan) bahkan beliau juga melindungi warga
Cina tionghio di tanah air. Dan Pada masa penjajahan Jepang, ia pernah
mengangkat salah seorang warga Cina menjadi Kepala Sekolah.
Beliau tutup usia pada tanggal 3
Mei 1992. Masyarakat dan bangsa ini merasa sangat kehilangan sosok ulama dan
pejuang yang telah banyak berjasa bagi negara. Maka tahun 2006 Pemerintah
memberikan gelar pahlawan Nasional Kepada KH. Noer Ali dan Namanya pun di
abadikan menjadi nama jalan KH. Noer Ali di kalimalang bekasi. Kini Pondok
pesantrennyapun berkembang dengan Pesat.
Dari uraian di atas, dapat diambil
intisasrinya bahwa sosok KH Noer Ali, sebagai pejuang dan Ulama non sektarian patut
kita jadikan teladan bagi kita semua. Karena saat ini dan di masa yang akan
datang bangsa ini sangat membutuh seorang figur seperti beliau. Semoga, “Noer
Ali-Noer Ali baru” bermunculan ditanah air ini. Wa Allahu ‘Alam.