Senin, 11 Januari 2016

Lima Pilar Dakwah Transformatif



Lima Pilar Paradigma Dakwah Transformatif
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)

Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah mengubahnya dengan lidahnya dan jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya dan hal itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).
Secara dikotomis, kita terbiasa membagi dakwah menjadi dakwah bil liasan dan dakwah bil hal pertama sebagai dakwah dengan kalam yang terlalu verbal dan mengutamakan cuap-cuap yang sering kali hanya kosong. Sedang yang kedua disebutnya dakwah dengan sikap, dengan amaliah nyata alias action. kekhawatiranya, dua model dakwah yang idealnya berjalan seimbang itu, cenderung timpang. Yang pertama berkembang pesat di tengah umat, sementara yang kedua tertatih-tatih. Ini jelas satu problem. Peroblem lainnya, ada semacam kerancauan paradigma dalam konsep dakwah kita selama ini, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Yakni kecenderungan untuk menjadikan umat sebagai obyek dakwah yang pasif, yang harus dituntun karena kedho'ifan dan potensinya bertindak jahil, maka para da'i dan institusi dakwah, lantas bertindak sebagai penjaga garis agar umat tetap berpijak pada jalan lurus. Meminjam istilah Mansour Fakh, bahwa proses dakwah selama ini cenderung mengarah pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik kehidupan agar disimpan dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan. Akibatnya, para da'i jadi subyek aktif, dan umat sekedar obyek pasif. Wajar jika umat kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai prototype manusia ideal. Ini kemudian diperkokoh kultur masyarakat yang cenderung paternalistik. Pola hubungan seperti ini melahirkan tolok ukur yang serba kuantitatif dan formal. Di mana keberhasilan dan kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris tidaknya da'i, sedikit banyaknya pengunjung dan sebagainya. Jelas yang diuntungkan dari proses dakwah model ini adalah da'i yang secara sosial, politik dan  ekonomis menjadi elite. Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, sulit bangkit dan tak mampu mengubah keadaan masyarakat. Oleh sebab itu mesti ada dakwah dalam bentuk lain sebagai solusi dalam memecahkan masalah masyarakat. maka disinilah pentingnya dakwah transformatif.
Dakwah transformatif merupakan bentuk dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan da’i sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat untuk isu-isu korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan problem kemanusiaan lainnya.
Dakwah Transformatif adalah gerakan (action) dakwah yang diberjalankan oleh Rosululloh SAW. Beliau melaksanakan Transformasi yang fondamental dalam tatanan masyarakat pada seluruh aspek kehidupan. Transformasi ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan bahkan system keamanan negara dan struktur negara. Inilah yang dijaman Rasulullah dikenal dengan Perjuangan Islam Kaffah. Dakwah yang merubah perilaku individu, masyarakat, dan negara secara utuh, integral.
Dalam konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasai oleh visi yang benar tentang perdamaian, kesalehan sosial, dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan toleran. Di sinilah, para aktivis dakwah (daí) memiliki peranan yang strategis dalam merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (ustadz, daí, kyai). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam di Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Suatu aktivitas dikatakan sebagai dakwah, apabila telah terpenuhinya unsur-unsur dakwah, yang disebut arkan al-Dakwah. Sebab apabila salah satu, apalagi secara keseluruhan dari unsur-unsur dakwah tidak ada, maka tidak dapat dikatakan adanya dakwah. Unsur-unsur dakwah tersebut ialah subjek dakwah (Da’i), materi (maud’u), objek (mad’u), metode (tariqah), dan media (wasail).
 Sedangkan pengertian dari dakwah transpormatif adalah  dakwah yang rill (nyata) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mad’u (objek dakwah). Sedangkan yang dimaksud dengan paradigma dakwah transpormatif dapat diartikan sebagai dakwah yang rill (nyata) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mad’u (objek dakwah). Adapun kelima pilar dakwah transformatif adalah sebagai berikut:
Pertama, subjek (Da’i), yakni da’i dari sikap eksklusif (tertutup) ke inklusif (terbuka), Artinya bagi da’i mesti terbuka (inklusif) dalam dakwahnya. Ia harus memiliki sikap toleran dan menghargai pluralitas (keragaman) masyarakat, seperti perbedaan agama, suku, dan budaya sebagai objek dakwanya. Bukan sebaliknya, ia bersikap tertutup (eksklusif) bahkan membeci, menghina dan mempropokasi umat terhadap objek dakwah yang berbeda agama, suku dan budayanya.
Kedua, materi (pesan), yakni dari pendekatan ubudiyah (ibadah) ritual formal ke Ubudiyah (ibadah) Sosial.  Artinya pesan dakwah yang akan disampaikan bukan hanya masalah ibadah ritual saja, namun mesti diarahkan juga pada ibadah sosial. Seperti masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, lingkungan hidup, prostitusi, korupsi dan lain-lain harus banyak mendapatkan perhatian dan penyelesaian dengan sesegera mungkin dan serius.
Ketiga, objek (sasaran dakwah), yakni keberpihakan dari orang kuat (agniya) ke orang lemah (mustadafin). Artinya tidak berarti bahwa dakwah kepada orang kuat dan kaya tidak perlu dilakukan. Tetap dakwah kepada mereka mesti dilakukan, apalagi jika terdapat tindakan dan perbuatan yang menyimpang di satu sisi, dan di sisi lain mereka juga merupakan objek dakwah, Namun keberpihakkan kepada orang lemah (mustadafin), seperti fakir, miskin, kaum buruh, petani, nelayan, orang yang teraniaya dan tertindas harus diutamakan. Maka di sini da’i harus menjadi “juru selamet” bagi mereka. Dalam hal ini, da’i mesti menjadi fasilitor dan advokasi bagi mereka.
Keempat, metodologi, yakni dari metoda dengen pendekatan monologis ke dialogis. Artinya pendekatan dakwah tidak hanya bersifat monolog seperti ceramah, tabligh, dan pidato saja, tapi dakwah kekinian harus bersifat dialogis, seperti diskusi, tanya jawab, pedampingan dan lain-lain. Karena dakwah yang bersifat monolog itu kurang dan bahkan tidak epektif, sebab sifatnya monoton dan keberadaan masyarakat sebagai objek dakwah bersifat pasif dan statis. Sedangkan dakwah dengan cara dialog diharapkan akan epektif dan efisien serta masyarakat sebagai objek dakwah bersifat aktif dan dinamis. Karena dengan cara dialogis ini, masyarakat dapat berdialog, bertanya, bekomunikasi langsung serta mendapat pendampingan dari da’i terhadap segala hal yang mereka butuhkan dan kerjakan. Atas dasar itu, menurut penulis, cara dakwah melalui kegiatan ‘tabligh akbar’ mesti dihentikan dan bahkan bila perlu untuk ‘dihapuskan’ saja. Karena cara dakwah yang seperti itu tidak lagi epektif dan episien serta terkesan serimonial belaka, tanpa nilai dan makna yang berarti.
Kelima, media, yakni dari bersifat fardiyah (personal) ke jam’iyah (institusional). Artinya dakwah mesti terlembagakan dalam sebuah organisasi dan terjalin kerjasama kerjasama (internal dan ekternal) yang kuat antara satu lembaga dengan lembaga yang lainnya, termasuk dengan pemerintah. institusi atau organisasi itu merupakan alat (media) dalam berdakwah. Seperti  kerjasama didalam (internal) organisasi tertentu, dan secara keluar (eksternal) antar satu ormas Islam dengan orma Islam lainnya, bahkan antara organisasi dakwah dengan pemerintah.
Dengan demikian, lima pilar dakwah tansformatif ialah (1) subjek (Da’i), mesti bersifat inklusif (terbuka), bukan eksklusif (tertutup); (2) materi (pesan) berorientasi Ubudiyah (ibadah) Sosial, bukan hanya ubudiyah (ibadah) ritual formal; (3) objek (sasaran dakwah), yakni keberpihakan dari orang kuat (agniya) ke orang lemah (mustadafin);  (4) metodologi, yakni dari metoda yang pendekatan monologis ke dialogis; dan (5) media, yakni dari bersifat individual (personal) ke kolektif (organisasional). Wa Allahu ‘Alam.






1 komentar:

  1. emperor casino - Shootercasino
    Emperor Casino is a real Casino for you - you 인카지노 can bet from anywhere! Emperor 제왕 카지노 casino is a great Casino for your personal security or kadangpintar security. Rating: 4 · ‎4 votes

    BalasHapus