Jumat, 22 Mei 2015

Dakwah Fardiyah: Mencetak Muslim Sejati



Dakwah Fardiyah: Mencetak Muslim Sejati
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,  yang bahan bakarnya adalah manusi dan batu …..(QS. At-Tahriim (66): 6).
Dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah di setiap masa. Apalagi pada zaman sekarang, umat Islam tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan secara bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam, maka tingkat kewajiban berdakwah pada zaman sekarang menjadi lebih berat. Dan kita juga harus mengetahui bahwa mengajak manusia ke jalan Allah SWT merupakan amaliyah bukan hal yang mudah.
Dakwah pada hakekatnya merupakan aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam kedalam tata kehidupan umat manusia dengan tujuan mewujudkan umat yang terbaik (khoirul ummat ) yang diridho Allah SWT. Sasarannya adalah terwujudnya pribadi yang baik (khairul nafsiyah), keluarga (khairul usrah) dan masyarakat (khairul majtama). Tercapainnya tiga sasaran tersebut berarti tujuan dakwah Islam sendiri.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, di antaranya melalui dakwah fardiyah. Dakwah Fardhiyah adalah dakwah yang pelaksanaanya person to person. Upaya menasehati yang ampuh untuk mendekati hati dan memfokuskan diri untuk memperbaiki seseorang. Banyak pengalaman orang lain dalam merekrut orang melalui dakwah fardiyah. Dan terkadang memang melakukan dakwah fardiyah memerlukan kiat tersendiri. Untuk lebih jelasnya pada makalah ini akan dipaparkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dakwah fardiyah.
Konsep Dakwah Fardiyah
Dakwah Fardiyah (dakwah interpersonal) adalah dakwah yang mad’u (objek) dakwah ialah hanya seorang. Dengan kata lain, dakwah fardiyah adalah proses merubah mad’u seorang diri supaya kearah yang baik. Tujuan dari dakwah fardiyah adalah mewujudkan individu seseorang senantiasa menjadi hamba yang selalu berada dijalan Allah SWT. Dalam proses dakwah fardiyah, seorang da’i berusaha lebih dekat mengenal mad’u, menyertainya dan membina persaudaraan dengannya karena Allah.dalam persahabatan ini, da’i berusaha membawa mad’u kepada keimanan, ketaatan, kesatuan dan komitmen pada sistem kehidupan Islam dan adab-adabnya yang menghasilkan sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan membiasakannya beramar ma’ruf nahy munkar. Merujuk kepada ilmu komunikasi, dakwah fardiyah dapat diidentikkan dengan dakwah interpersonal atau dakwah antar pribadi.
Pemahaman tentang dakwah fardiyah ini dapat dirujuk dari teori peranan komunikasi antar pribadi (Johnson, 1981), yaitu pertama, komunikasi antar pribadi dapat membantu perkembangan intelektual dan sosial masyarakat. Kedua, komunikasi antar pribadi dapat membantu adanya identitas dan jati diri seseorang. Ketiga, melalui komunikasi antar pribadi kita dapat melakukan pembandingan social terhadap kesan-kesan dan pengertian kita tentang dunia luar kita. Keempat, kesehatan mental seseorang sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi antar pribadi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal seseorang.
Dakwah fardiyah adalah dakwah seseorang kepada orang lain. Seorang da’i berdakwah kepada seorang mad’u dengan pendekatan personal atau dari hati ke hati. Dakwah fardiyah bisa dilakukan dengan dengan cara langsung face to face atau dengan cara tidak langsung melalui telpon, pesan singkat (SMS), internet dan lain-lain. Merijuk kepada tulisan Johnson diatas, jika sepakat mengatakan bahwa komunikasi interpersonal identik dengan dakwah fardiyah, maka dakwah fardiyah ini sangat efektif bila dilakukan secara rutin dan berkesinambungan karena seorang da’i akan lebih terfokus perhatiannya kepada seorang atau beberapa mad’u saja. Da’i dapat memantau perkembangan pemahaman dan pengalaman agama mad’u yang menjadi sasarannya mulai dari pemahaman dan pengalaman yang rendah sampai pada pemahaman dan pengalaman agama yang lebih tinggi. Dakwah fardiyah dapat dilakukan oleh sebagian besar umat Islam karena pendekatan dakwah fardiyah dapat dilakukan secara sangat pribadi dari hati ke hati dan dapat dilakukan di tempat tinggal mad’u tanpa harus melakukan dakwah secara terbuka di depan banyak orang. Dengan kata lain dakwah fardiyah dapat dilakukan oleh setiap orang yang mempunyai kemampuan terbatas, keberanian terbatas dan ruang gerak terbatas.

Pendekatan Dan Metode Dakwah Fardiyah
Setidaknya terdapat tiga pendekatan dakwah fardiyah yang dapat dilakukan oleh da’i dalam memahami keberadaan mad’unya, yaitu mafhum kurabi (kedekatan), mahfum hajati (kebutuhan) dan mahfum tanzhimi (pengelolaan).
Pertama, mafhum kurabi, yakni usaha seorang da’i agar lebih dekat mengenal mad’u dalam rangka mengajaknya ke jalan Allah. Dengan demikian, diharapkan dengan adanya kedekatan da’i dengan mad’u tersebut maka otomatis da’i akan lebih mudah banyak mengenal kepribadian dan karakternya. 
Kedua, mahfum hajati, yakni usaha da’i selain adanya kedekatan juga mampu memahami kebutuhan dasar (kebutuhan primer) ma’u yang sebenarnya. Maka tugas da’i dengan semaksimal mungkin dapat memenuhi kebutuhan mad’unya.
Ketiga, mahfum tanzhimi, yakni upaya pengelolaan dan pembinaan da’i terhadap seorang mad’u dengan cara memberikan pengarahan (ta’lim), mempraktikan (Tauzif) dan dievaluasi (taujih).
Sedangkan cara (motode) yang dilakukan da’i dalam proses dakwah terhadap mad’unya antara lain sebagai berikut:
Pertama, dengan lisan (bi al-lisan), yakni berdakwah dengan cara ceramah, tausiyah (menasihati), berdialog, diskusi, seminar dan lain-lain.
Kedua, dengan tulisan (bi al-kitabah), yakni berdakwah dengan cara menulis surat, karikatur, lukisan, artikel, buliten, dan lain-lain.
Ketiga, dengan perilaku (bil al-hal), yakni berdakwah dengan cara mempragakan, demontrasi, keteladanan, mempraktikan dan lain-lain.
Dari uraian di atas, dapat diambil benar hijaunya, bahwa dakwah fardiyah (dakwah interpersonal) adalah dakwah yang mad’u (objek) dakwah ialah hanya seorang. Dengan tujuan dari dakwah fardiyah adalah mewujudkan individu seseorang senantiasa menjadi hamba yang selalu berada dijalan Allah SWT. Dalam proses dakwah fardiyah, seorang da’i berusaha lebih dekat mengenal mad’u, menyertainya dan membina persaudaraan dengannya karena Allah.dalam persahabatan ini, da’i berusaha membawa mad’u kepada keimanan, ketaatan, kesatuan dan komitmen pada sistem kehidupan Islam dan adab-adabnya yang menghasilkan sikap tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan membiasakannya beramar ma’ruf nahi munkar. Sehingga menjadi seorang muslim yang sejati, yakni seorang muslim yang beriman, berilmu pengetahuan dan beramal shaleh.
Adapun pendekatan yang lakukan leh da’i terhadap mad’unya adalah mafhum kurabi (kedekatan), mahfum hajati (kebutuhan) dan mahfum tanzhimi (pengelolaan). Sedangkan metodenya adalah dengan lisan (bi al-lisan), dengan tulisan (bi al-kitabah), dan dengan perilaku (bil al-hal). Wa-Allahu ‘Alam.




Rabu, 13 Mei 2015

Dakwah Nafsiyah: Membangun Keshalehan Diri Sendiri



Dakwah Nafsiyah: Membangun Keshalehan Diri Sendiri
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Hai Orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telahnya untuk hari esok (akhirat….(QS. Al-Hasyr (59): 18).
Islam adalah agama dakwah, yaitu dalam ajarannya memerintahkan umatnya untuk mengajak keberbagai lini kehidupan manusia, supaya mereka beriman, bertaqwa, serta beramal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Artinya dakwah ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua umat Islam yang sudah mukallaf, laki-laki dan perempuan, sendiri dan kelompok, ulama dan intelek, aktivis dan politisi hartawan dan dermawan, dimanapun dan kapanpun sesuai dengan kapasitas, kemampuan dan kompetensinya masing-masing. Ulama dan intelek  berdakwah dengan ilmu dan pemikirannya. Aktivis, politisi, dan pemerintah berdakwah dengan jabatanya. Hartawan dan dermawan berdakwah dengan hartanya. Karena dakwah dilakukan untuk membangun manusia, baik dirinya sendiri, kelompok dan jamaah agar menjadi hamba Allah yang Shaleh dan bertaqwa kepadanya.
Konsep Dakwah Nafsiyah
Dakwah Nafsiyah (dakwah intrapersonal) adalah dakwah yang da’i (subjek) dan mad’u (objek) dakwah ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya tetap berada dijalan yang diridha Allah. Tujuan dari dakwah nafsiyah adalah mewujudkan pribadi seseorang senantiasa menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dan keimanan dan ketaqwannya itu diaktualisasikan dalam segenap aspek kehidupannya. Dakwah nafsiyah ini pada implementasinya dilakukan melalui ibadah vertikal dan ibadah horizontal.
Konsep Nafsiyah (pribadi) Sebagai Manusia
Sebelum menjelaskan tentang metode dakwah nafsiyah, penulis mencoba menyinggung terlebih dahulu tentang manusia menurut pandangan Islam.
Dalam pandangan Islam, manusia, baik sebagai pribadi (dirinya sendiri) maupun sosial adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi  karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan. Dan kitab Suci al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam.
Hakekat penciptaan manusia dalam perspektif Islam dengan merujuk pada nash Alquran, selalu bertitik tolak pada term khalaqa (menciptakan) dan atau ja’ala (menjadikan). Dimana Allah lah sebagai maha pencipta dan yang menjadikan manusia ada di muka bumi ini. Kedua term ini, mengimformasikan bahwa manusia itu tercipta atas dua unsur yakni materi dan immateri.
Kedua unsur yang disebutkan di atas, dapat tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan. Dengan demikian, manusia dapat disebut sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo education (makhluk pendidik). Dari paradigma ini, menyebabkan ke-eksistensian manusia secara fitrawi disebut sebagai makhluk pedagogik, yakni makhluk Tuhan yang sejak diciptakannya telah membawa potensi untuk dapat didik dan dapat mendidik. Hal ini jelas, manusia sejak kecil dirawat oleh orangtuanya, sebagai manusia yang lemah. Ia diajarkan berbagai macam hal yang ia butuhkan untuk bertahan hidup, bertahap (step by step) bayi yg semula hanya bisa melakukan aktivitas dalam gendongan ibu akhirnya mampu melaksanakan kegiatannya dengan tumpuan kakinya sendiri untuk berjalan.
          Sementara itu,  dalam menentukan struktur kepribadian diri manusia tidak dapat terlepas dari masalah substansi manusia itu sendiri, sebab masalah substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia yang hidup terdiri atas dua bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing kedua aspek ini pada prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Jasmani tanpa ruhani merupakan substansi yang mati, alias bangkai, sedang ruhani tanpa jasmani tidak dapat teraktualisasi dan terwujudkan. Karena saling melengkapi dan membutuhkan keduanya maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri tersebut, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Dan nafs yang berwujud manusia secara pribadi disebut nafsiyah (diri sendiri).

Metode Dakwah Nafsiyah
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa subtansi manusia yang hidup terdiri atas dua bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing kedua aspek ini pada prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara (metode) manusia (sebagai dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan ruhaninya tersebut secara baik dan konsisten dalam rangka meraih kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun cara (metode) dakwah nafsiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, unsur jasmani, yakni wujud dari komponen material atau fisikal diri seseorang. Menurut Imam al-Ghazali bahwa komponen jasmani ini dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Maka jasmani ini harus diisi dengan hal-hal yang bersifat material, seperti mengkonsumsi makanan yang bergizi, minum yang menyehatkan, olah raga, istirahat yang cukup, bekerja mencari nafkah dan lain-lain.
            Kedua, unsur ruhani, yakni jisim nurani yang tinggi, hidup dan bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Maka ruhani ini harus diisi dengan hal-hal yang bersifat non material, seperti shalat (wajib dan sunah), berzikir, berdoa, berpuasa (wajib dan sunah), zakat, infaq dan sadaqah dan bentuk ibadah lainnya.
Dari uraian diatas, dapat diambil benang merahnya, bahwa dakwah nafsiyah adalah dakwah yang da’i (subjek) dan mad’unya (objek) ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya seluruh aspek kehidupnya tetap berada dijalan yang diridha Allah, sehingga dirinya dapat mencapai kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat nanti.
Adapun cara (metode) yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) unsur jasmani, misalnya makan yang bergizi, olahraga dan lain-lain; 2) unsur ruhani, misalnya shalat, berzikir, berdoa dan lain-lain. Wa-Allahu ‘Alam

Paradigma Dakwah Transpormatif di Era Masa Kini



Paradigma Dakwah Transpormatif di Era Masa Kini
Oleh : Drs. Ahmad Gozin, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung STID Sirnarasa Ciamis)

Dalam Sebuah kisah, Rasulullah SAW setiap pagi pergi ke pasar untuk memberi makan dan menyuapi seorang pengemis yang sering mangkal di pinggiran pasar tersebut. Padahal pengemis itu setiap hari selalu mencaci-maki, menghina dan menjelekkan Rasulullah. Dia (si Pengemis) tidak tahu kalau yang sering memberi makan dan menyuapinya setiap pagi itu adalah Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah meninggal dunia, maka yang memberi makan dan menyuapi si pengemis dilanjutkan oleh Abu Bakar As-Sidiq. RA (atas anjuran Rasulullah). Namun suatu saat, si pengemis tersebut dalam pirasat hatinya merasakan kalau yang memberi makan dan menyuapinya itu seperti bukan orang biasanya. Dan Abu bakar pun menyampaikan kalau orang yang biasa memberi makan dan menyuapinya setiap pagi adalah orang yang sering kamu caci-maki dan menghinanya itu telah wafat, dan saya adalah orang menggantikannya, kata Abu Bakar. Maka si pengemis itu pun spontan menangis dan merasa menyesal, dan akhirnya ia menyatakan diri masuk Islam.
Kisah tersebut di atas, menggambarkan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA., sebagai da’i  sifat nyata (real) dan epektif sesuai dengan kebutuhan mad’u (objek dakwah), yakni seorang pengemis. Inilah salah satu contoh kongkrit dakwah transpormatif. Dengan demikian, bentuk dakwah transpormatif sudah ada dan dilakukan sejak awal penyebaran Islam dimulai oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Sekilas Pengertian Dakwah
Dakwah, secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata:  دعا – يدعو - دعوة   (da’a, yad’u, da’watan), yang artinya seruan, panggilan, undangan atau do”a.
Secara etimologi kata dakwah berarti : (1) memanggil; (2) menyeru; (3) menegaskan atau membela sesuatu; (4) memohon dan meminta atau berdo’a. Artinya, proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan untuk mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seseorang suapaya melakukan cita-cita tertentu.  Oleh karena itu, dalam kegiatan dakwah ada proses mengajak, maka orang yang mengajak disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u. Pengertian dakwah dari segi bahasa ini masih memiliki karakteristik yang umum, karena yang namanya mengajak, memanggil atau menyeru bisa saja kepada arah kebaikan dan keburukan.
Term dakwah dalam al-Quran yang dipandang paling populer adalah yad’una ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan ‘yanhawna ‘an al-munkar. Dalam konteks ini, seorang muslim secara khusus mempunyai kewajiban dan tanggungjawab moral untuk hadir ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat sebagai bukti dan saksi kehidupan Islami (syuhada ‘ala al-nas), umat pilihan (khoero ummah) yang mampu merealisasikan nilai-nilai Ilahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khoer, sebagai kebenaran prinsipil dan universal (ya’uuna ila al-khoer), melaksanakan dan menganjurkan al-ma’ruf, yaitu nilai-nilai kebenaran kultural (ya’muruuna bi al-ma’ruf), serta menjauhi dan mencegah kemunkaran (yanhawna ani al-munkar). Disamping istilah tersebut dalam al-Quran juga memperkenalkan istilah-istilah lain yang dipandang berkaitan dengan tema umum dakwah, seperti tabligh (penyampaian), tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tabsyir (penyampaian berita gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah (nasehat), tadzakir dan tanbih (peringatan).    
Definisi dakwah secara terminologi (istilah) para ahli berbeda-beda. Namun menurut hemat penulis, bahwa dakwah adalah mengajak manusia kepada kebajikan dan keselamatan didunia dan akhirat.
a.      Pengertian Paradigma
Istilah paradigma pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik dalam bukunya “The Struktur of Scientific Revolution”. Menurut Thomas Khun, paradigm adalah pandangan dasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a discipline has of its subject matter). Sedangkan George Ritzer, medefinisikan paradigm lebih singkat, yaitu “How to see the word” (kacamata untuk melihat, memaknai dan menafsirkan masyarakat atau realitas social).
Jadi, menurut hemat penulis bahwa paradigm adalah pandangan tentang cara menafsirkan realitas masyarakat.

b.      Pengertian Dakwah Transpormatif
Sedangkan makna dakwah transpormatif adalah dakwah yang rill (nyata) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mad’u (objek dakwah). Jadi paradigma dakwah transpormatif dapat diartikan sebagai dakwah yang rill (nyata) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mad’u (objek dakwah).
            Islam sebagai agama Dakwah. Yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan umat manusia, bilamana ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Usaha untuk menyebarluaskan Islam, begitu pula untuk merealisasikan ajarannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia adalah merupakan usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimana pun dan dimanapun harus dilaksanakan oleh umat Islam.
Selama ini dakwah cenderung lebih bersifat konvensional (verbal) seperti ceramah, khutbah, tabligh akbar dan semacamnya. Dakwah semacam ini sulit untuk mengukur tingkat perubahan dan dirasakan kurang menyentuh terhadap kebutuhan mad’u yang sesungguhnya. sebab keberhasilan dakwah bukan hanya diukur karena banyaknya yang hadir, hanya masalah ritual semata, apalagi unsur humor yang lebih dominan dan berlebihan. Jelas, dakwah semacam ini tidak akan menghasilkan “perubahan” yang sesungguhnya terhadap mad’u.
Dakwah yang saat ini yang harus dilakukan oleh juru dakwah (Da’i), baik individu maupun organisasi dakwah semestinya mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, keterbelakangan, kesehatan, penggusuran, konplik social, lingkungan hidup dan problem umat lainnya. Ini realitas umat yang kita hadapi saat ini. Maka dakwah yang realistis mesti dilakukan adalah “pemberdayaan” dan “pengembangan” , bahkan da’i sebagai pendamping dan pelayan umat secara langsung. Inilah disebut dengan paradigm dakwah transpormatif.
Secara teoritis, bahwa dakwah akan terlaksana dengan baik dan sempurna kalau unsur-unsur (arkan al-dakwah) terpenuhi. Sekurang-kurangnya terdapat lima unsur dakwah yang bersifat sistematis (antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berkaitan). Karena apabila salah-satu unsur dakwah tersebut tidak ada, maka dakwah tidak akan terwujud dengan sempurna. Adapun unsur-unsur dakwah tersebut, yaitu: subjek dakwah (da’i), objek dakwah (mad’u), materi (maud’u), metode (manhaj), media (wasail).
Pada tataran implementasinya dalam dakwah transpormatif, setidaknya terdapat lima hal yang mesti ada, yaitu; Subjek dakwah (da’i), Objek dakwah (mad’u), Materi (maud’u), Metode (manhaj), dan Media (wasail).
Subjek dakwah (Da’i)
Bagi subjek dakwah (da’i) setidaknya memiliki dan menguasi dua hal, yakni pengetahuan primer, yaitu  ilmu dakwah dan kepribadian da’i (kompetensi personal) dan pengetahuan penunjang, yakni memiliki kemahiran dalam retorika (seni berdakwah). Dengan kata lain, bahwa seorang da’I mesti memiliki kemampuan dan penguasaan pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Dan antara kemampuan teorits dan praktis bersifat sinergis bagi para juru dakwah (da’i) yang bersangkutan.
Objek dakwah (Mad’u)
Sebelum terjun ke lapangan, seorang da’i mesti mengenal dengan pasti dan jelas objek dakwah yang akan dijadikan sebagai sasarannya. Maka disini seorang da’i harus mengenal peta, medan, karakter, dan kondisi masyarakat sebagai objek dakwah, misalnya masyarakat petani, intelek, birokrat, teknokrat, desa dan kota, para narapidana, miskin dan kaya dan sebagainya.
Materi (Maud’u)
            Materi dakwah yang sajikan oleh juru dakwah adalah pesan-pesan mesti menyentuh kebutuhan yang riil (nyata) masyarakat.  Maka materi dakwah tidak hanya berifat ibadah berbasis  ritual seperti fikih, teologi, dan akhlak semata, namun lebih menukik pada ibadah basis sosial. Dalam hal ini seorang da’i memiliki peran ganda, yakni  menabur materi keagamaan dan pedampingan masyarakat secara nyata, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kesehatan, penggususran (lahan dan tempat tinggal) dan problem social lainnya. Jadi,  da’i dalam hal bukan hanya berperan sebagai agen ritual saja, tapi sebagai pembela (advokat) dan pendamping bagi masyarakat yang mengalami ketidakadilan dan ketertindasan. Dalam konteks ini, kata kunci bagi para juru dakwah harus sudah memulai merubah materi dakwahnya dari kesenjangan pada keadilan, dari ketertindasan ke pembelaan, dari jauh ke kedekatan masyarakat, dari acuh-takacuh ke peduli dan dari eksklusif ke inklusif dan seterusnya. Intinya, seorang da’I harus menjadi pembela, penedak keadilan, peduli, pendamping dekat dan inklusif pada umat sebagai objek dakwah.
Metode (Manhaj)
            Metode (cara) dawah pun mesti bervariatif, tidak monoton (hanya dalam satu bentuk). disesuaikan dengan objek dakwah yang hadapi da’i. Karena diharapkan dengan metode yang bervariatif kita dapat menetapkan metode apa yang pas atau sesuai kondisi dan keadaan mad’u itu sendiri. Sekedar contoh, kalau yang dihadapi da’i adalah masyarakat miskin dan lapar, tidak perlu dikasih ceramah atau nesehat (panjang lebar), cukup diberi bantuan materi (berbentuk finansial) atau maanan yang dibutuhnya. Atau contoh lain, kalau yang diahadpi da’i adalah orang yang sakit dan sedang sakarut maut (akan meninggal), tidak perlu dikasi ceramah panjang lebar, cukup dikasih obat dan talkin (bimbingan berupa ucapan syahadatain). Itulah da’i yang memiliki kecerdasan dalam metode dakwah, yakni metode yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dasar serta situasi dan kondisi mad’unya. Metode yang lain mesti dikembangkan dan aplikasikan,  ialah metode yang bersifat dialogis, diskusi (tanya jawab) antara da’I dan mad’u. Sehingga diharapkan akan memunculkan berbagai problem dan kebutuhan nyata dan sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat.
Media (Wasail)
            Selama ini media yang digunakan dalam dakwah masih bersifat terbatas, seperti mesjid, majlis talim, mimbar dan semacamnya, belum memanfaatkan dan menggunakan media dan alat modern sebagai media dakwah, seperti media elektonik, misalnya televisi, radio, internet, alat komunikasi dan yang lainnya. Media cetak, seperti Koran, majalah, tabloid, buletin dan sebagainya. Kalaupun ada sifatnya masih terbatas dan insidental (musiman), seperti kuliah bulan Ramadhan, kuliah subuh, dan semacamnya. Tentunya penggunaan media dalam dakwah yang terbatas seperti itu belumlah cukup, masih diperlukan adanya usaha yang lebih optimal oleh para juru dakwah untuk terus memanfaatkan dan memaksimalkan penggunaan media dakwah modern saat ini dan masa yang akan datang.
            Apalagi ketika dunia ini telah dikuasai oleh manusia dengan menggunakan kemampuan teknologi sebagai media komunkasi dan telematika, maka tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Manusia sepertinya menjadi setengah dari Tuhan, mereka semua berubah menurut kehendak manusia, sedangkan Tuhan hanya mengabulkan saja keinginan manusia. Manusia telah membuktikan kebenaran firman Allah bahwa manusia adalah khalifah di bumi, dan hal ini telah dibuktikan dengan kemapuan manusia menguasai teknologi sebagai media komunikasi dan telematika.
Dalam konteks inilah, pelaksanaan dakwah akan berjalan dengan baik, apabila unsur-unsur (Arkan al-Dawah) sudah dapat terpenuhi secara sistematis.  Dan dalam implementasinya dakwah juga mesti dilandasi oleh visi dan misi yang jelas dan benar. Oleh sebab itu, dakwah harus mengusung misi perdamaian, kesolehahan sosial (disamping kesolehan ritual), toleran dan inklusif. Intinya dakwah berparadigma transpormatif ialah dakwah dengan pemberdayaan dan pengembangan umat dalam berbagai aspek kehidupannya secara konprehensif. Seperti yang dicontohkan dalam kisah tersebut di atas, yang sudah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Bahkan bagi para juru dakwah, di zaman modern seperti sekarang ini, pengembangan dakwah harus terus dintensifkan dengan berinovasi, berkreativitas dan  meningkatan tarap kehidupan umat dalam berbagai aspeknya, misalnya bagi masyarakat buta hurup, kaum mustadafin (marginal) perlu diberikan pasilitas dan sarana untuk mereka, seperti panti asuhan, rumah sakit, dan pendidikan. Posisi da’i dalam hal adalah sebagai pasilitator, pelayan dan pendamping bagi mereka.
            Maka pada titik ini pula, diharapkan wajah Islam di Indonesia akan kembali  seperti pada zaman awal masuknya Islam ke Nusantara, dengan menampilkan wajah kedamaian (taslim), toleran (tasamuh) dan akomodatif terhadap segala perubahan yang terjadi pada masyarakat hingga zaman modern seperti sekarang ini. Apalagi kehidupan masyarakat modern begitu kompleks, rumit dan sangat kompetitif. Maka para juru dakwah dituntut untuk memiliki pengetahuan, metode, strategi, teknik dan keterampilan dakwah yang komprehensif untuk memecahkan persoalan umat manusia tersebut. Wa-Allahu ‘Alam.