Kamis, 07 Mei 2015

Rekonkotruksi Da’i Partisifasif: Seremonial VS Subtansial



Rekonkotruksi Da’i Partisifasif: Seremonial VS Subtansial
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Abstraksi
Pada sub topik di atas, penulis mencamtumkan secara khusus ungkapan ‘Seremonial VS Subtansial. Hal tersebut tidak bermaksud membenturkan atau mengesamping dakwah yang berbentuk  ‘Seremonial’ saja, sementara yang lainnya harus dipertahankan dan dikembang, namun hal tersebut bertujuan untuk mengkritisi palaksanaan dakwah yang oleh sebagian masyarakat umum selama ini masih berlangsung,  yang hanya mengutamakan formalitas dan seremonial semata, namun hampa nilai dan makna.
Proses dakwah sebagai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat mesti diorientasikan pada ‘kesadaran’  bahwa tidak seorang pun merasa berhak menjadi da'i atau mubaligh. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi da'i bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk melahirkan masyarakat yang berdakwah untuk dirinya sendiri,  dimana masyarakat berperan sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat, merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Maka da’i dalam hal ini, hanya sebagai motivator dan fasilitator bagi masyarakat.
Secara garis besarnya, klasifikasi ragam dakwah menjadi dakwah bil lisan  (dakwah bi al-Qawl) dan dakwah bil hal (dakwah bi al-Af’al). Ragam pertama adalah dakwah dalam bentuk “perkataan” (kalam) yang bersifat verbal dan hanya mengutamakan informasi saja,  serta sering kali kosong dari isi dan makna. Sedangkan ragam yang kedua disebutnya dakwah dengan sikap, dan amaliah nyata (action). Idealnya kedua ragam dakwah tersebut, menghadapi zaman kekinian (modern) semestinya berjalan secara seimbang, namun realitasnya tidaklah demikian. Bentuk yang pertama berkembang cukup pesat di tengah-tengah umat, sementara bentuk yang kedua masih tertatih-tatih dan terkesan lambat. Ini jelas salah satu problem yang sedang kita hadapi. Peroblem lainnya, ada semacam ketidakjelas paradigma dalam konsep dakwah kita selama ini, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Yakni kecenderungan untuk menjadikan umat sebagai obyek dakwah yang pasif dan statis, yang harus dituntun oleh juru dakwah karena kedha'ifan (kelemahan) dan potensinya bersifat jahil, maka para da'i dan institusi dakwah, lantas bertindak sebagai penjaga gawang agar umat tetap berpijak pada jalan lurus. Menggunakan istilah Mansour Fakih, bahwa proses dakwah selama ini cenderung mengarah pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat sebagai objek dakwah,  diibaratkan gelas kosong yang harus diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik kehidupan agar disimpan dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan. Akibatnya, para da'i jadi subyek aktif, dan umat (objek dakwah) sekedar obyek pasif.
Wajar jika umat kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai figur manusia ideal dan terhormat. Hal ini kemudian diperkokoh oleh kultur masyarakat yang cenderung paternalistik. Pola hubungan seperti ini melahirkan tolok ukur yang serba kuantitatif dan formal. Dimana keberhasilan dan kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris dan tidaknya da'i, kondang dan tidaknya, sedikit dan banyaknya yang hadir dan sebagainya. Misalnya istilah ‘Tabligh Akbar’ (ceramah besar). Kalau kita cermati, darimana istilah tersebut muncul. Berarti ada istilah lain yang dibawah istilah itu, yakni ‘Tabligh Asghar’(ceramah kecil). Namun pada kenyataanya istilah Tabligh Asghar itu belum atau tidak pernah terdengar hingga saat ini. Jelas dan pasti yang diuntungkan dari proses dakwah seperti ini adalah da'i itu sendiri, baik secara sosial, politik dan  ekonomis menjadi manusia elite. Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, lemah, statis dan sulit bangkit serta tak mampu mengubah keadaan mereka sendiri. Karena yang diberikan da'i kepada mereka, hanyalah ‘obat tidur’, yakni berupa dongeng seorang ibu sebagai pengantar tidur anaknya. Dan dakwah verbal, yakni dakwah yang hanya mengandalkan lisan semata seperti ceramah, tabligh asghar atau tabligh akbar dan sebagainya, apalagi adanya moment keagamaan tertentu, seperti peringatan Maulid Nabi, Isra dan Mi’raj dan lain-lain, realitasnya belum atau tidak berpengaruh dan tidak ada perubahan apa-apa, baik keyakinan, sikap dan perilaku yang nampak bagi masyarakat itu sendiri. Pada umumnya, di masyarakat umum, dakwah bentuk ini dilakukan hanya bersifat ritual, formalitas dan serimonial semata, tanpa nilai dan makna yang berarti. Maka bentuk dakwah semacam itu adalah sia-sia dan terkesan pemborosan, baik materi, waktu dan tenaga. Menurut hemat penulis, dakwah yang hanya bersifat ritual, formalitas dan seremonial semata seperti itu,  untuk ‘distop’ atau bahkan ‘dihentikan’ saja, karena tidak memberikan pengaruh dan perubahan apapun bagi masyarakat. Sedangkan ‘subtansi’ dari dakwah itu adalah adanya ‘perubahan’ masyarakat (objek dakwah), dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang sudah baik menjadi lebih baik, dari statis menjadi dinamis, dari pasif menjadi kreatif, dari miskin menjadi sejahtera dan seterusnya.
Bentuk dakwah seperti ini akan berimplikasi kepada proses dehumanisasi, yakni menafikan kemanusiaan dan menguntungkan sekelompok kecil elite masyarakat. Padahal secara historis dakwah justru mengakar pada humanisasi, yaitu praktek pengembangan dan pemberdayaan kemanusiaan.  Itu sebabnya, isu dakwah yang mula-mula dicanangkan Rasulullah adalah tauhid dalam pengertian adanya kesatuan dan kesamaan derajat antara kelas masyarakat kuat dan lemah, penindas dan tertindas, semuanya adalah sebagai hamba Allah. Tidak heran kalau ayat-ayat Makkiyah secara tegas dan tajam mengkritik segala bentuk akumulasi kekayaan dan eksploitasi ekonomi serta mengancam pelakunya yang tidak punya kepedulian sosial.
Aktivitas dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW adalah gerakan dakwah menuju transformasi sosial. Dakwah diaktualisasikan sebagai gerakan pembebasan masyarakat dari eksploitasi, dominasi, penindasan serta ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu dalam seluruh aspeknya. Dan pada akhirnya terbentuk masyarakatnya yang memiliki peradaban sosial dan kapasitas masyarakat modern dimasanya, yang menurut Nurcholish Madjid dinamakan sebagai masyarakat yang terbuka, demokratis dan partisipatif.
  Maka dalam konteks sosial, proses dakwah harus mampu mengembalikan keadaan umat yang telah lama terpuruk dan lemah (ekonomi, pendidikan dan lain-lain) terjebak teologi serba menyerah (fatalistik). Proses dakwah sebagai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat mesti diorientasikan pada ‘kesadaran’  bahwa tidak seorang pun merasa berhak menjadi da'i atau mubaligh. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi da'i bagi dirinya sendiri. Bukan sebaliknya bahwa masyarakat yang lemah harus menjadi sasaran transfer pengetahuan dan nilai-nilai kelompok yang lebih kuat. Sebab itu, dakwah hendaknya diarahkan menuju proses dialog untuk menumbuhkan kesadaran akan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif, yang berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, subtansi dakwah bukan mencoba merubah masyarakat, tetapi menciptakan kesempatan bagi mereka untuk merubah dirinya lewat kesadaran dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan  Al-Quran bahwa Allah tidak akan merubah keadaan sebuah masyarakat sampai mereka sendiri merubahnya. sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar-Ra’du ayat 11:
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum, sehingga mereka merubah dirinya sendiri ..... (QS. Ar-Ra’du: 11).
Dengan demikian, untuk melahirkan masyarakat yang berdakwah untuk dirinya sendiri,  dimana masyarakat berperan sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat, merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Menurut Muhammad Jalauddin al-Qosimy menilai, da'i tipe seperti ini memegang peranan penting dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kejahilan dan penindasan, karena tanggungjawabnya tak terbatas pada pribadinya saja melainkan pada masyarakatnya secara umum.
Karakteristik da'i tipe tersebut ditandai dengan adanya hubungan saling menghargai antara da'i dan masyarakat. Sebab persepsi masyarakat umum,  bahwa masyarakat dan segala pengalamannya, bukanlah seorang da'i. Materi dakwah pun berpijak pada pengalaman masyarakat, bukan sesuatu yang disajikan dari luar mereka untuk diinternalisasikan. Dalam kontks seperti ini,  masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran kritis memandang kehidupan serta memperbaiki keadaan dirinya sendiri.
Maka strategi dan metode dakwah yang dapat  dijadikan alternatif ialah melalui pendekatan peran da’i partisipatif untuk menyempurnakan pelaksanaan dakwah selama ini. Dengan demikian,  diharapkan melahirkan pelaksanaan dakwah yang bukan sekedar tablighul ayat (penyampaian pesan-pesan agama), tapi bina'ul mujtama' (membangun masyarakat). Dalam hal ini peran da'i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat agar mampu menciptakan kondisi yang mereka inginkan. Merekalah yang merencanakan, bertindak atau melaksanakan, mengevaluasi dan akhirnya menindaklanjuti keseluruhan proses dakwah tersebut. Nilai-nilai yang mendasari dakwah tersebut bukan nilai orang lain atau da'i, tetapi nilai-nilai yang hidup dilingkungan mereka sendiri yang bersumber dari ajaran agama mereka sendiri. Dengan begitu, mereka berperan menjadi da'i untuk dirinya sendiri.
Di abad melenium ketiga ini, dimana keadaan masyarakatnya dituntut untuk bersifat kritis dalam berbagai aspek kehidupannya, maka yang diperlukan ialah proses dakwah yang berorientasi pada transformasi sosial dengan pendekatan partisipatif. Intinya adalah bagaimana mewujudkan tujuan dakwah, yaitu pengembangan potensi fitrah dan fungsi khilafah kemanusiaan dalam rangka membentuk nizhamul hayat (sistem kehidupan sosial) yang diridhai Allah.
Dengan demikian, proses dan metode dakwah di masa depan perlu memprogramkan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama, landasan proses dakwah keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Hal ini berarti menafikan (penolakan) segala bentuk dakwah untuk kepentingan lain.
Kedua, proses dialogis dan keterlibatan masyarakat secara intens guna membangun kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan dirinya.
Ketiga, memfasilitasi masyarakat agar mampu memecahkan masalahanya sendiri serta melakukan transformasi sosial yang mereka kehendaki sendiri.
Keempat, menjadikan dakwah sebagai media pengembangan dan pemberdayaan potensi masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat akan terbebas dari kejahilan dan kedha'ifan. Wa-Allau ‘Alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar