Rekonkotruksi Da’i Partisifasif: Seremonial VS Subtansial
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)
Abstraksi
Pada sub topik di atas, penulis mencamtumkan secara khusus
ungkapan ‘Seremonial VS Subtansial. Hal tersebut tidak bermaksud membenturkan
atau mengesamping dakwah yang berbentuk ‘Seremonial’ saja, sementara yang lainnya
harus dipertahankan dan dikembang, namun hal tersebut bertujuan untuk
mengkritisi palaksanaan dakwah yang oleh sebagian masyarakat umum selama ini
masih berlangsung, yang hanya mengutamakan
formalitas dan seremonial semata, namun hampa nilai dan makna.
Proses dakwah sebagai pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat mesti diorientasikan pada ‘kesadaran’ bahwa tidak seorang pun merasa berhak menjadi
da'i atau mubaligh. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi da'i bagi
dirinya sendiri.
Dengan demikian, untuk melahirkan masyarakat yang berdakwah untuk dirinya
sendiri, dimana masyarakat berperan
sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu
memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat,
merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan
akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Maka da’i dalam hal ini,
hanya sebagai motivator dan fasilitator bagi masyarakat.
Secara garis besarnya, klasifikasi ragam dakwah menjadi dakwah
bil lisan (dakwah bi al-Qawl)
dan dakwah bil hal (dakwah bi al-Af’al). Ragam pertama adalah
dakwah dalam bentuk “perkataan” (kalam) yang bersifat verbal dan hanya
mengutamakan informasi saja, serta
sering kali kosong dari isi dan makna. Sedangkan ragam yang kedua
disebutnya dakwah dengan sikap, dan amaliah nyata (action). Idealnya
kedua ragam dakwah tersebut, menghadapi zaman kekinian (modern) semestinya
berjalan secara seimbang, namun realitasnya tidaklah demikian. Bentuk yang
pertama berkembang cukup pesat di tengah-tengah umat, sementara bentuk yang
kedua masih tertatih-tatih dan terkesan lambat. Ini jelas salah satu problem
yang sedang kita hadapi. Peroblem lainnya, ada semacam ketidakjelas paradigma
dalam konsep dakwah kita selama ini, baik dakwah bil lisan maupun dakwah
bil hal. Yakni kecenderungan untuk menjadikan umat sebagai obyek dakwah
yang pasif dan statis, yang harus dituntun oleh juru dakwah karena kedha'ifan (kelemahan)
dan potensinya bersifat jahil, maka para da'i dan institusi dakwah, lantas
bertindak sebagai penjaga gawang agar umat tetap berpijak pada jalan lurus. Menggunakan
istilah Mansour Fakih, bahwa proses dakwah selama ini cenderung mengarah
pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat sebagai objek dakwah, diibaratkan gelas kosong yang harus
diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik kehidupan agar disimpan
dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan. Akibatnya, para da'i jadi subyek aktif,
dan umat (objek dakwah) sekedar obyek pasif.
Wajar jika umat kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai figur
manusia ideal dan terhormat. Hal ini kemudian diperkokoh oleh kultur masyarakat
yang cenderung paternalistik. Pola hubungan seperti ini melahirkan tolok ukur
yang serba kuantitatif dan formal. Dimana keberhasilan dan
kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris dan tidaknya da'i, kondang
dan tidaknya, sedikit dan banyaknya yang hadir dan sebagainya. Misalnya istilah
‘Tabligh Akbar’ (ceramah besar). Kalau kita cermati, darimana istilah
tersebut muncul. Berarti ada istilah lain yang dibawah istilah itu, yakni ‘Tabligh
Asghar’(ceramah kecil). Namun pada kenyataanya istilah Tabligh Asghar
itu belum atau tidak pernah terdengar hingga saat ini. Jelas dan pasti yang
diuntungkan dari proses dakwah seperti ini adalah da'i itu sendiri, baik secara
sosial, politik dan ekonomis menjadi manusia elite.
Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, lemah, statis dan sulit
bangkit serta tak mampu mengubah keadaan mereka sendiri. Karena yang diberikan
da'i kepada mereka, hanyalah ‘obat tidur’, yakni berupa dongeng seorang
ibu sebagai pengantar tidur anaknya. Dan dakwah verbal, yakni dakwah yang hanya
mengandalkan lisan semata seperti ceramah, tabligh asghar atau tabligh akbar dan
sebagainya, apalagi adanya moment keagamaan tertentu, seperti peringatan Maulid
Nabi, Isra dan Mi’raj dan lain-lain, realitasnya belum atau tidak berpengaruh
dan tidak ada perubahan apa-apa, baik keyakinan, sikap dan perilaku yang nampak
bagi masyarakat itu sendiri. Pada umumnya, di masyarakat umum, dakwah bentuk
ini dilakukan hanya bersifat ritual, formalitas dan serimonial semata, tanpa
nilai dan makna yang berarti. Maka bentuk dakwah semacam itu adalah sia-sia dan
terkesan pemborosan, baik materi, waktu dan tenaga. Menurut hemat penulis,
dakwah yang hanya bersifat ritual, formalitas dan seremonial semata seperti
itu, untuk ‘distop’ atau bahkan ‘dihentikan’
saja, karena tidak memberikan pengaruh dan perubahan apapun bagi masyarakat.
Sedangkan ‘subtansi’ dari dakwah itu adalah adanya ‘perubahan’ masyarakat
(objek dakwah), dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang sudah baik menjadi
lebih baik, dari statis menjadi dinamis, dari pasif menjadi kreatif, dari
miskin menjadi sejahtera dan seterusnya.
Bentuk dakwah seperti ini akan berimplikasi kepada proses dehumanisasi,
yakni menafikan kemanusiaan dan menguntungkan sekelompok kecil elite
masyarakat. Padahal secara historis dakwah justru mengakar pada humanisasi,
yaitu praktek pengembangan dan pemberdayaan kemanusiaan. Itu sebabnya,
isu dakwah yang mula-mula dicanangkan Rasulullah adalah tauhid dalam
pengertian adanya kesatuan dan kesamaan derajat antara kelas masyarakat kuat dan
lemah, penindas dan tertindas, semuanya adalah sebagai hamba Allah. Tidak
heran kalau ayat-ayat Makkiyah secara tegas dan tajam mengkritik segala bentuk
akumulasi kekayaan dan eksploitasi ekonomi serta mengancam pelakunya yang tidak
punya kepedulian sosial.
Aktivitas dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW adalah
gerakan dakwah menuju transformasi sosial. Dakwah diaktualisasikan sebagai
gerakan pembebasan masyarakat dari eksploitasi, dominasi, penindasan serta
ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu dalam seluruh aspeknya. Dan pada
akhirnya terbentuk masyarakatnya yang memiliki peradaban sosial dan kapasitas masyarakat
modern dimasanya, yang menurut Nurcholish Madjid dinamakan sebagai
masyarakat yang terbuka, demokratis dan partisipatif.
Maka dalam konteks sosial, proses dakwah harus
mampu mengembalikan keadaan umat yang telah lama terpuruk dan lemah (ekonomi,
pendidikan dan lain-lain) terjebak teologi serba menyerah (fatalistik). Proses
dakwah sebagai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat mesti diorientasikan
pada ‘kesadaran’ bahwa tidak
seorang pun merasa berhak menjadi da'i atau mubaligh. Sebaliknya, masyarakatlah
yang harus menjadi da'i bagi dirinya sendiri. Bukan sebaliknya bahwa masyarakat
yang lemah harus menjadi sasaran transfer pengetahuan dan nilai-nilai kelompok
yang lebih kuat. Sebab itu, dakwah hendaknya diarahkan menuju proses dialog
untuk menumbuhkan kesadaran akan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif,
yang berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, subtansi dakwah
bukan mencoba merubah masyarakat, tetapi menciptakan kesempatan bagi mereka
untuk merubah dirinya lewat kesadaran dan pemahaman terhadap masalah yang
dihadapi mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Al-Quran bahwa Allah tidak akan merubah
keadaan sebuah masyarakat sampai mereka sendiri merubahnya. sebagaimana
firman-Nya dalam surat Ar-Ra’du ayat 11:
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum, sehingga
mereka merubah dirinya sendiri ..... (QS. Ar-Ra’du: 11).
Dengan demikian, untuk melahirkan masyarakat yang berdakwah
untuk dirinya sendiri, dimana masyarakat
berperan sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i
partisipatif, yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah,
menyatakan pendapat, merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang
mereka kehendaki dan akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Menurut Muhammad
Jalauddin al-Qosimy menilai, da'i tipe seperti ini memegang peranan penting
dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kejahilan dan penindasan, karena
tanggungjawabnya tak terbatas pada pribadinya saja melainkan pada masyarakatnya
secara umum.
Karakteristik da'i tipe tersebut ditandai dengan adanya
hubungan saling menghargai antara da'i dan masyarakat. Sebab persepsi
masyarakat umum, bahwa masyarakat dan segala
pengalamannya, bukanlah seorang da'i. Materi dakwah pun berpijak pada
pengalaman masyarakat, bukan sesuatu yang disajikan dari luar mereka untuk
diinternalisasikan. Dalam kontks seperti ini, masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran
kritis memandang kehidupan serta memperbaiki keadaan dirinya sendiri.
Maka strategi dan metode dakwah yang dapat dijadikan
alternatif ialah melalui pendekatan peran da’i partisipatif untuk
menyempurnakan pelaksanaan dakwah selama ini. Dengan demikian, diharapkan melahirkan pelaksanaan dakwah yang
bukan sekedar tablighul ayat (penyampaian pesan-pesan agama), tapi
bina'ul mujtama' (membangun masyarakat). Dalam hal ini peran da'i hanyalah
sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat agar mampu menciptakan kondisi
yang mereka inginkan. Merekalah yang merencanakan, bertindak atau melaksanakan,
mengevaluasi dan akhirnya menindaklanjuti keseluruhan proses dakwah tersebut.
Nilai-nilai yang mendasari dakwah tersebut bukan nilai orang lain atau da'i,
tetapi nilai-nilai yang hidup dilingkungan mereka sendiri yang bersumber dari
ajaran agama mereka sendiri. Dengan begitu, mereka berperan menjadi da'i untuk
dirinya sendiri.
Di abad melenium ketiga ini, dimana keadaan masyarakatnya dituntut
untuk bersifat kritis dalam berbagai aspek kehidupannya, maka yang diperlukan
ialah proses dakwah yang berorientasi pada transformasi sosial dengan
pendekatan partisipatif. Intinya adalah bagaimana mewujudkan tujuan dakwah, yaitu
pengembangan potensi fitrah dan fungsi khilafah kemanusiaan dalam rangka
membentuk nizhamul hayat (sistem kehidupan sosial) yang diridhai Allah.
Dengan demikian, proses dan metode dakwah di masa depan
perlu memprogramkan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama,
landasan proses dakwah keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Hal ini
berarti menafikan (penolakan) segala bentuk dakwah untuk kepentingan lain.
Kedua,
proses dialogis dan keterlibatan masyarakat secara intens guna membangun
kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan dirinya.
Ketiga,
memfasilitasi masyarakat agar mampu memecahkan masalahanya sendiri serta melakukan
transformasi sosial yang mereka kehendaki sendiri.
Keempat,
menjadikan dakwah sebagai media pengembangan dan pemberdayaan potensi
masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat akan terbebas dari kejahilan
dan kedha'ifan. Wa-Allau ‘Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar