Kamis, 16 Juli 2015

Transformasi Idul Fitri




Idul Fitri: Memelihara Fitrah Diri
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Ruum (30): 30).
Di negara kita (Indonesia), hari Raya Idul Fithri merupakan puncak pengalaman hidup spiritual dan sekaligus sosial keagamaan. Dan dapat pula dikatakan bahwa seluruh kegiatan masyarakat selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan hari besar itu dengan tradisinya masing-masing. Mereka bekerja dan mengumpulkan atau menabung untuk merayakan dan  menikmati Idul Fithri tersebut. Hari raya yang juga disebut lebaran itu hampir sama dengan perayaan Thanks Giving Day di Amerika Serikat sana. Pada saat rakyat negeri tersebut bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama seluruh keluarganya. Hilir-mudik lebaran rakyat Indonesia juga mirip dengan yang dilakukan orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day itu. Semuanya merasakan dorongan amat kuat untuk bertemu orangtua, keluarga dan sanak saudara, karena justru dalam suasana keakraban kekeluargaan itu hikmah Idul Fithri atau Thanks Giving Day dapat dirasakan sepenuh-penuhnya. Sebagai hari raya keagamaan, Idul Fithri intinya adalah makna keruhanian. Tapi karena dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi kekeluargaannya, maka Idul Fithri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Dan juga dilihat dari segi bagaimana orang bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fithri juga mempunyai makna ekonomis yang besar sekali bagi masyarakat Indonesia. Cukup sebagai indikasi tentang hal itu ialah bagaimana daerah-­daerah tertentu memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik, sehingga pemerintah daerah bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan kedatangan warganya yang bekerja di dalam dan luar negeri.
Makna keruhanian Idul Fithri dapat dipahami dengan baik jika kita dapat melihatnya dari sudut pandang keagamaan yang melatarbelakanginya. Seperti halnya dengan semua pranata keagamaan, Idul Fithri berkaitan langsung dengan ajaran dasar Islam. Karena itu makna Idul Fithri merupakan rangkuman nilai-nilai Islam dalam sebuah kapsul kecil, dengan muatan simbolik yang sangat sentral. Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fithri dengan arti "kembali menjadi suci ", pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasullullah SAW: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya " (HR Bukhari).
Makna asal kata-kata "fithri" kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan kata "fitrah" (fithrah), yang artinya "Pencipta" atau "Ciptaan". Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu "ciptaan" atau "penciptaan". Oleh sebab, segenap kehidupan manusia, seperti makan, minum, tidur, dan aktivitas apa pun yang sifat wajar, dengan tidak berlebihan atau melewati batas, adalah fitrah. Semuanya itu bernilai kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari desain Allah. Karena itu berbuka puasa atau kembali makan dan minum disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan "memenuhi fitrah" yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, menikah, bekerja dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi Saw pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat beliau, bernama Utsman ibn Mazh'um, yang ingin menempuh hidup suci dengan melakukan semacam “pertapaan”. Nabi juga melarang keras pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah seumur hidup. Karena semuanya itu tindakan yang menyalahi fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hari raya Idul Fithri mengandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan. Kewajaran itu adalah pemenuhan keperluan untuk makan dan minum sehingga makna sederhana Idul Fithri dapat diartikan "Hari Raya Makan dan Minum" setelah berpuasa sebulan. Selain itu, Idul Fithri merupakan ajaran dasar agama Islam, yakni manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi.
Makna idul fitri paling tidak mengandung tiga arti penting, yaitu:
 Pertama, Hari Asal Kejadian Manusia.
Orang yang idul fitri bagaikan manusia yang lahir kedunia ini dalam keadaan suci dan bersih. Artinya manusia lahir tanpa membawa dosa apapun, sekalipun anak dari hasil jinah, yang berdosa adalah kedua orang tuanya.
Kedua, Hari untuk Makan, Minum dan Bergembira.
Pada perayaan idul fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diperintahkannya berbuka (tidak berpuasa) dengan melaksanakan makan, minum dan bergembira bagi umat Islam (yaum ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari diharamkan untuk berpuasa.
Ketiga, Hari Kemenangan.
Kemenangan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjihad (perang) melawan hawa nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat idul fitri mereka merayaan kemenangan tersebut dengan penuh rasa kegembiraan.
Dengan demikian, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh kita dalam rangka memelihara dan menjaga kesucian diri (fitrah) tersebut, yaitu:
Pertama, Ihsan, yakni senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah SWT. dalam setiap gerak dan langkah kehidupannya. Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya. Ihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Ihsan kepada makhluk ciptaan Allah.
Kedua, Bersyukur, yakni berterima kasih, senang dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Dengan begitunya banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia, sehingga mereka tidak akan mampu menghitung atas nikmat-nikmat itu. Dan apabila manusia bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, maka Allah akan menambahnya nikmat tersebut, sedangkan apabila manusia mengingkarinya maka Allah akan mengancamnya dengan siksaan yang pedih (lihat QS. Ibrahim: 7).
Ketiga, Istiqamah, yakni konsisten dalam menempuh jalan Islam yang lurus (benar) dalam keyakinan (keimanan) dan kebenaran (haq) dengan tidak berpaling dari keyakinan dan kebenaran tersebut. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk  ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin serta meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Sebab ketika seorang muslim dalam menegakkan keyakinan dan kebenaran sudah pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, seperti ejekan, hinaan, kebencian dan lain-lain dari orang lain, namun orang muslim yang istiqamah tidak akan berubah  dan tidak akan goyah, baik sikap, pikiran dan i’tikadnya dengan berbagai tantangan dan rintangan yang dihadapinya, malahan semakin kuat dan tangguh dalam menegakkan keyakinan dan kebenarannya itu.
Wa-Allahu ‘Alam.