Sabtu, 15 Agustus 2015

Kemerdekaan dan Hawa Nafsu



Kemerdekaan dan Hawa Nafsu
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua Tanfidz MWC NU Cibiru Kota Bandung dan Dosen STID Sirnarasa
Ciamis-Jabar)

Makna kemerdekaan menurut semangat Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Hak Asasi Manusia (HAM) antara lain sebagai berikut: kemerdekaan adalah bebas dari tekanan atau penindasan dari pihak lain. Dalam konteks ini bahwa kemerdekaan itu dapat terwujud manakala  kita telah terbebas dari penindasan, ancaman, intimidasi dari pihak-pihak lain. Kemudian kemerdekaan berarti tidak adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat dan terciptanya tatanan masyarakat yang setara (egaliter) dan seimbang. Dimana antara satu komponen masyarakat dan yang yang lainnnya saling menghargai dan menghormati serta memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dan kemerdekaan dapat terwujud, manakala seluruh komponen masyarakat bisa tampil baik individu dengan individu lain, atau satu kelompok dengan kelompok lainnya membangun rasa kebersamaan untuk mewjudkan kesatuan dan persatuan bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Saat ini, kemerdekaan yang telah rasakan bangsa Indonesia genap memasuki 70 tahun. Kemerdekaan tersebut merupakan puncak perjuangan bangsa ini. Jadi, serangkaian perjuangan menentang kolonial dan imprealis bangsa asing telah berakhir. Dimana kemerdekaan yang telah raih merupakan jembatan emas atau pintu gerbang untuk mewujudkan masyarakat  adil dan makmur. Jadi, dengan kemerdekaan itu bukan berarti perjuangan bangsa sudah selesai. Tetapi, justru muncul tantangan baru untuk mempertahankan dan mengisinya dengan berbagai pembangunan, baik lahir mapun bathin.
Bentuk penjajahan baru tersebut bisa berupa hawa nafsu ekonomi (serakah, tamak, kikir dan lain-lain), politik (pembunuhan kakakter, nafsu kekuasan dan lain-lain) dan  dan sebagainya. Maka dalam konteks seperti itu, dapat dikatakan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia belum merdeka. Karena hawa nafsu ekonomi dan politik masih bersemayam di jiwa sebagian masyarakat kita.
Bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke-70. Kesemarakan warga masyarakat Indonesia, dari desa sampai kota menyambut hari bersejarah itu sudah nampak jauh-jauh hari. Bendera merah putih, spanduk, lampu hias sampai baliho-baliho besar bertuliskan ucapan Dirgahayu Kemerdekaan serta pernak-pernik lainya menghiasi berbagai gang dan jalan raya. Iklan-iklan ucapan selamat hari kemerdekaan dan acara spesial kemerdekaan dimedia massa pun bertebaran menambah gegap gempita menyambut hari bersejarah itu.                
Merdeka dari Hawa Nafsu
Tuhan telah memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada segenap umat manusia, diantara salah satunya adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan baik lahiriah maupun batiniah. Kemerdekaan yang dimaksud meliputi jaminan hak-hak jasmaniah dan rohaniah, seperti kemerdekaan hidup, kemerdekaan agama, kemerdekaan harta, kemerdekaan tempat tinggal, kemerdekaan mengemukakan pendapat dan sebagainya.
Seseorang dapat dikatakan merdeka secara hakiki apabila kemerdekaan tersebut terjadi secara menyeluruh dalam semua pilar-pilarnya. Kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam konteks Negara semata tetapi juga individu dan masyarakat yang menjadi pengisi sebuah Negara. Dalam konteks individu kemerdekaan berarti terbebasnya seseorang dari tekanan hawa nafsunya dalam melakukan segala aktifitasnya. Menurut Fahmi Amhar dalam bukunya Arti Kemerdekaan Hakiki dalam Perspektif Islam  (2001), mengatakan bahwa individu atau masyarakat dikatakan merdeka kalau seorang telah bersikap dan berperilaku selalu di dasarkan kepada pertimbangan rasional. Dan bagi orang yang beriman pertimbangan rasionalnya adalah ketika ia menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Tuhan yang Maha Esa. Maka jika individu dan masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dikendalikan hawa nafsu maka berarti dia belum menjadi orang merdeka yang sebenarnya. Meskipun ia bukan seorang budak dan hidup di sebuah masyarakat dan Negara merdeka. Karena ia terbelenggu oleh hawa nafsunya yang senantia memaksanya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan akal sehatnya. Kehidupannya selalu terjajah oleh hawa nafsunya sendiri sehingga mengakibatkan terjerumusnya ia kejurang kebinasaan.
Pada konteks di atas, kita telah menyaksikan dan merasakan sendiri harga bahan pokok dan BBM terus menaik, terutama harga daging sapi. Apakah hal ini karena adanya ‘politik daging sapi’ ? Wa-Allahu ‘Alam. Kemudian konplik internal partai antar elit politik saling berebut pucuk pimpinan partai terus berlansung hingga kini. Entah kapan semua ini akan berakhir. Mungkin hanya waktu yang akan bisa menjawabnya. Yang pasti bahwa semua itu karena sebagian diantara komponen bangsa ini, baik individu dan kelompok masih dihinggapi jiwanya oleh hawa nafsu, seperti sifat serakah, egois, dan ambisi yang berlebihan. Dan kalau hal ini terus berlangsung tanpa adanya antisifasi dan kesadaran bersama maka dikhawatir bangsa ini akan dikuasai oleh orang-orang selalu mengumbar hawa nafsu. Dan dipihak lain, rakyat kecil (yang merupakan mayoritas) dari bangsa ini akan terus menderita baik lahir maupun bathin, karena himpitan ekonomi, kemiskinan, kesehatan dan lain-lain. Semoga semua hal ini segera berakhir! Wa-Allahu ‘Alam.

___________________
Alamat Penulis: Cipadung No. B 8  RT.02/11 Kel. Cipadung Kec. Cibiru Kota Bandung 40614
Tlp/HP: 085795385626

Aktualisasi Ibadah Vertikal dan Horizontal



Aktualisasi Ibadah Vertikal dan Horizontal
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua Tanfidz MWC NU Cibiru-Kota Bnadung dan STID Sirnarasa
Ciamis-Jawa Barat)

                                                                      
Sekali-kali tidaklah daging dan darahnya itu dapat mencapai (keridhaan) Allah, melainkan ketaqwaan kamu saja (yang dapat mencapai-Nya)… (QS Al-Hajj (22): 37)
Allah SWT. telah menganugrahkan nikmat kepada manusia sangat banyak, misalnya manusia diberi anak,  isteri,  harta kekayaan, kesehatan badan, kedudukan dan sebagainya. Segala yang dimiliki manusia adalah ni’mat dari Allah,  baik berupa materi maupun non materi. Namun bersanmaan dengan itu semua nikmat tersebut merupakan cobaan atau ujian bagi manusia dalam kehidupannya. Meskipun Allah SWT. telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada manusia, tetapi dalam kenyataan Allah SWT. juga telah melebihkan sebagian dari mereka daripada yang lainnya. Sehingga, dalam kehidupan ini ada yang kaya dan ada yang miskin,  ada yang menjadi pejabat dan ada yang jadi rakyat dan ada pimpinan dan ada bawahan seterusnya. Hal Ini semua,  tentunya dalam rangka ujian bagi manusia, siapa diantara mereka yang benar-benar mukmin dan siapa yang tidak ? siapa diantara mereka yang benar-benar sabar dan tawakal, dan yang tidak ? Maka salah satu bukti bahwa seseorang yang memiliki kelebihan harta telah lulus dari ujian atau cobaan adalah ia dengan ikhlas mau mengorbankan sebagian hartanya dengan melaksanakan penyembelihan hewan qurban. Menurut Lismanto (2004), dalam bukunya Hukum Islam Progresif  bahwa tradisi simbolisasi kurban dalam hari raya idul adha memiliki dua dimensi. Pertama, makna qurban memiliki dimensi ibadah-spiritual. Kedua, makna qurban punya dimensi sosial.
Dengan demikian, Idul Adha atau hari raya Qurban memiliki makna penting untuk direnungkan dalam kehidupan umat manusia. Salah satu maknanya adalah kita perlu menyadari bahwa makhluk yang namanya manusia adalah kecil dihadapan Allah, betapapun kebesaran pangkat dan jabatan yang disandangnya. Inilah makna dari kalimat takbir, (Allahu Akbar……!) Dan manusia juga harus menyadari bahwa tiada yg boleh di-Tuhan-kan dan disembah selain Allah. Sebab kalau manusia menuhankan dan menyembah selain Allah maka mereka menjadi syirik (menyukutukan Allah). Inilah makna dari kalimat thayyibah (laa Ilaha illa Allah ……!).
Menurut hemat penulis bahwa makna Idul Adha secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
Pertama, hari menemui cahaya Allah (yaum nurilillah).
 Yakni hari untuk mengenal dan lebih dekat dengan Allah SWT. Terminologi Idul Adha, diambil dari kata Id artinya kembali, dan kata Adha artinya cahaya terang-benderang atau pagi-pagi saat munculnya matahari. Maka umat Islam di seluruh penjuru dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji, pada tanggal 9 Zhulhijjah wajib hadir di padang Arafah (sebagai rukun haji) untuk malakukan Wukuf. Kata wukuf artinya berhenti, dan kata arafah artinya tahu atau mengenal. Sedangkan bagi umat Islam yang belum mendapat panggilan ibadah haji, pada tanggal 9 Zhulhijjah disunahkan untuk melaksanakan shaum sunah, yang disebut shaum yaum al-Arafah. Dengan demikin, Idul Adha adalah hari raya untuk lebih mengenal dan dekat dengan Allah SWT.
Kedua,  hari penyembelihan (yaum al-nahr).
Yakni hari penyembelihan hewan kurban. Dan pada konteks ini, bagi segenap umat muslim mesti mampu membuang dan mengendalikan jiwa mereka dari hawa nafsu dan syahwat kebinatangan (bahimiyah) mereka demi dekat dengan Allah (taqarub lila Allah). Maka pada raya Idul Adha, untuk membuang sifat kebinatangan itu, disumbolkan dengan menyembelih hewan kurban.
 Ketiga,  hari berkurban (yaum al-qurbah).
Yakni hari pengorbanan bagi kaum muslimin, baik jiwa dan raga mereka demi mendekatkan diri kepada Allah. Maka bagi segenap umat muslim mesti mengorbankan segala potensi yang dimilikinya, baik pikiran, tenaga dan harta. Bagi mereka yang memiliki harta, berkurban dengan menyembelih hewan kurban, sedang mereka yang tidak memiliki harta berkurban dengan jiwa, pikiran dan tenaganya. Dan daging hewan kurban untuk dibagikan kepada mereka yang secara ekonomi dianggap kurang mampu, khususnya fakir dan miskin.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merahnya, bagi kaum muslimin bahwa Idul Adha merupakan media sebagai berikut; (1) hari untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri mereka terhadap Allah SWT; (2) hari untuk membuang dan mengendalikan jiwa mereka dari hawa nafsu dan syahwat kebinatangan (bahimiyah); dan (3) hari pengorbanan jiwa dan raga sesuai dengan kemampuanya masing-masing.
Pengorbanan jiwa dan raga umat Islam, baik harta, pikiran, dan tenaga semuanya demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, supaya menjadi hamba yang bertaqwa. Pengorbanan mereka secara lahiriyah dalam penyembelihan hewan kurban merupankan perwujudan dari ibadah vertikal (langsung dengan Allah), sedangkan pembagian daging hewan kurban, khususnya kepada mereka yang dianggap kurang mampu merupakan perwujudan ibadah horizontal (dengan sesama manusia), atau disebut juga dengan ibadah sosial. Wa-Allahu ‘Alam.
_______________________
Alamat Penulis: Cipadung No. B 8 RT.02/11 Kel. Cipadung Kec. Cibiru Kota Bandung 40614
Tlp/HP: 085795385626