Jumat, 19 Juni 2015

Transformasi Ramadhan



Ramadhan: Membentuk Karakter Kepribadian Muslim
Oleh: Drs. Ahmad Gojin, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)

Marhaban Ya Ramadhan……….!
Kalau artis cilik, bernama Tasya begitu semangat dan kegirangan saat menyanyikan lagu berjudul “Libur Telah Tiba”, maka kita juga harus bahagia dan senang saat datangnya bulan ramadhan, sebab bulan ramadhan menjanjikan segalanya, khususnya memberi “bonus pahala” yang berlipat ganda kepada kita dalam beribadah. Bahagia, karena nyaris semua orang berlomba dalam memperbanyak amal baiknya. Sehingga, peluang untuk menyaksikan dan berbuat maksiat bisa diperkecil. Maklum, saat ramadhan, dari mulai anak-anak, remaja, sampai orang tua, mereka semua rajin dang semangat beribadah agar mendapatkan pahala yang sebanyak-banyaknya. Tadinya mereka jarang ke masjid untuk beribadah, saat ramadhan, semuanya berangkat ke masjid. Mereka melaksanakan tarawih, zikir, tadarus al-Quran dan sebagainya.
Bulan ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender  Islam, dan juga merupakan bulan yang penuh berkah dan suci bagi umat Islam. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an diturunkan pada bulan ini . Allah SWT. ingin Muslim untuk menunaikan puasa pada bulan ini dan seperti yang dinyatakan dalam hadits, Allah (SWT) memberikan lebih banyak pahala untuk ibadah dan rahmat di bulan ini. Para fuqoha  mengatakan bahwa Ramadhan  adalah sebuah bulan yang berlimpah dan mulia yang dapat membuat seorang Muslim , yang menghargai dan menghabiskan waktu dengan ibadah , memperoleh pahala sebanyak pahala ibadah 80 tahun.
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan ingin meraih ridha-Nya. Sehingga kaum Muslimin menyambut tamu agung tersebut dengan sebaik-baiknya. Imam Ibnu Rajab mengungkapkan: “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala tidak gembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira ketika para syaitan dibelenggu?”
Para ulama terdahulu (salaf) jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan, mereka berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar mereka mencapai bulan yang mulia tersebut. Karena mencapai bulan Ramadhan merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah. Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para ulama salaf) berdoa kepada Allah  selama enam bulan sebelum Ramadhan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian mereka berdoa kepada-Nya selama enam bulan berikutnya setelah Ramadhan agar Allah berkenan menerima amal-amal shaleh yang mereka kerjakan dalam bukan Ramadhan”
Maka hendaknya setiap muslim yang beriman selayaknya mengambil teladan dari para ulama terdahulu dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah SWT. Hal itu juga agar kelak di akhirat akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan “balas dendam” ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah  dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya. Namun persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah shaum (puasa) dan berbagai ibadah lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yakni dengan niat yang ikhlas, sabar, dan tawakal, serta berbagai amal kebajikan, tentunya pelakanaan ibadah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah-Nya.
Dari konteks di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa bagi segenap umat Islam yang beriman hendaknya dalam menyambut dan mengisi bulan ramadhan dengan mengakualisaskan dalam dimensi kehidupan individu dan sosial, sehingga hal tersebut dapat membentuk karakteristik kepribadian seorang muslim. Adapun langkah-langkah yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, mesti mempersiapkan dan mensucikan diri, baik jasmani maupun ruhani, seperti meluruskan niat, membersihkan diri dari sifat tercela, dosa dan maksiat serta menghiasi diri dengan akhlak terpuji, serta ibadah sehingga ketika memasuki ramadhan keadaan hati yang suci dan bersih. Kemudian, dalam menjalni puasa ramadhan serta ibadah yang lainnya dengan khusyu dan konsisten. Tentunya semua itu dilakukan dengan tujuan  mengharapkan ridha dari Allah SWT, baik dunia dan akhirat.
Kedua, dalam melakanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan ramadhan mesti menteladani para ulama salaf yang shaleh (salafus shaleh) dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah, shaum ramadhan, berdoa, zikir dan amal kebajikan lainnya untuk meraih keridhaan dari Allah SWT. Karena bulan ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa, bulan penuh berkah, bulan ampunan dan bulan rahmat. Pada bulan tersebut setiap amal kebaikkan umat Islam di dunia akan dibalas berlipat ganda oleh Allah. Semangat untuk menjalankan ibadah puasa, akan membentuk karakter dan jati diri muslim yang sesungguhnya. Selain itu, puasa ramadhan akan membentuk mental-spritual seorang muslim secara konsisten dan istiqamah dalam menghadapi sebelas bulan berikutnya.
Ketiga, semua bentuk amaliah dan ibadah apapun, khususnya ibadah puasa ramadhan, mesti berbekas dan terakualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena ibadah puasa merupakan bentuk ibadah yang memiliki dimensi yang bersifat verikal (hubungan langsung dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama manusia). Sehingga puasa seorang muslim tidak berbekas dalam kedua dimensi (verikal dan horizontal) tersebut, maka ia merugi dan sia-sia. Artinya dalam pandangan Allah amaliahnya itu tidak memeliki nilai apapun. Sedangkan tujuan dari ibadah puasa adalah membentuk insan yang bertaqwa. Oleh sebab itu, orang yang bertaqwa adalah hamba yang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, seorang muslim yang melaksanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan ramadhan dengan benar dan sempurna akan menjadi insan yang bertaqwa.
Wa-Allahu ‘alam.






Transformasi Ramadhan



Ramadhan Sebagai Media Dalam Meningkatkan Kualitas Diri
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)


Marhaban ya Ramadhan…..!
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah (2): 183).  
Bulan Ramadhan merupakan nama kesembilan dalam kalender Islam, yang merupakan kata dari bahasa Arab, dari kata dasar Ramda , artinya semakin panas karena panas yang terus menerus dan tanah yang menjadi semakin panas sedemikian rupa. Jadi kata ramadhan artinya  membakar, yakni untuk membakar bagi pejalan  kaki  di tanah dibawah terik matahari yang sangat panas menyengat. Alasan mengapa bulan suci ini disebut ramadhan adalah karena ia membakar segala dosa manusia. Pada bulan Ramadhan, seorang muslim yang berpuasa menahan panas karena kelaparan dan haus dan panasnya puasa membakar  berbagai dosa.
Selain itu, istilah ramadhan juga berarti mengasah, karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan peralatan lainnya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk mengasah jiwa, mengasah ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat membakar sifat-sifat tercela dan lemak-lemak dosa yang ada dalam diri kita. Kata ramadhan juga berarti hujan. Istilah itu berasal dari kata dasar Ramadiyu yang berarti hujan yang terlihat pada akhir musim panas , pada awal musim gugur dan membersihkan bumi dari debu. Seperti hujan  yang mencuci permukaan bumi, bulan Ramadhan mensucikan dan membersihkan orang beriman dari segala dosa dan maksiat.
Bukan hal yang baru, apabila setiap menjelang bulan suci Ramadhan, para pemilik tempat-tempat hiburan di seantero Nusantara dibuat was-was dan ketakutan. Bukan oleh adanya peraturan daerah yang melarang dibukanya tempat hiburan tersebut atau pembatasan jam operasionalnya, namun tidak lebih pada maraknya tindakan penertiban tempat hiburan oleh sebuah organisasi masyarakat berbasis keagamaan, seperti Forum Pembela Islam (FPI) atau lembaga islam lainnya. Puasa, bukan sekedar kewajiban tahunan, dengan menahan lapar dan berbuka, kemudian setelah itu hampir tidak berbekas dalam jiwa ataupun dalam perilaku dalam bersosialisasi di masyarakat, namun puasa lebih kepada kewajiban yang mampu menggugah moral, akhlak, dan kepedulian kepada hal sosial kemasyarakatan. Puasa merupakan kewajiban yang universal, dan sebagai orang yang beragama Islam, maka perlu diyakini bahwa puasa merupakan kewajiban yang disyariatkan untuk setiap muslim/mukmin, seperti layaknya sebagai umat dari Nabi Muhammad SAW.
Puasa, merupakan satu cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan. Dengan berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi, walaupun mungkin terasa berat melakukannya. Puasa menurut Islam lebih universal, dan bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, namun juga menahan diri dari semua hal yang dilarang oleh Allah, seperti contoh bertahan dari godaan maksiat dan menjauhi perbuatan keji, juga menjauhi perbuatan yang tidak terpuji lahir dan batin. Puasa di bulan Ramadhan, merupakan bulan untuk perenungan dan instropeksi mengenai perilaku diri, dan sekaligus mengakui kelebihan dari orang lain. Oleh karena sedang berpuasa, maka mulut akan terjaga dari kata-kata kotor, caci maki, mengumbar aib orang dan berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Puasa juga merupakan kewajiban yang konkret sebagai pembina suatu kebersamaan dan kasih sayang antar sesama. Sesama orang Islam akan merasakan lapar, haus, kenyang, dan sulitnya menahan emosi dan amarah diri. Puasa dalam satu bulan, seharusnya dapat membawa dampak positif berupa rasa solidaritas dan kepedulian antar saudara, rasa kemanusiaan yang mendalam atas penderitaan sesama manusia. Perasaan sama-sama lapar, haus, kesabaran yang lebih, dan kesucian pikiran juga kata-kata, mampu membuat manusia memiliki rasa kebersamaan dalam masyarakat, dan menghasilkan cinta kasih antar sesama tanpa memandang latar belakang, warna kulit, dan agama.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa “makna” dari puasa ramadhan adalah sebagai berikut:
Pertama, shar al-Tarbiyah Nafsi (bulan pendidikan diri), yakni puasa ramadhan mendidik diri kita jasmani dan rahani ketika sedang menjalani ibadah berpuasa dan dalam menjalani kehidupan ini selalu menanamkan sifat ikhlas, sabar, tabah, rasa lapar serta dahaga dan lain-lain. Kedua, shar al-Muhasabah (bulan evaluasi), yakni puasa ramadhan merupakan momentum bagi kita sebagai ajang introspeksi diri. Paling tidak kita mesti dapat menjawab tiga pertanyaan, berikut:  who (siapa diri kita), where (sedang dimana kita), when (kapan kita kembali), atau yang disingkat dengan 3W.
Ketiga, shar al-idarah (bulan manajemen), yakni puasa ramadhan merupakan kesempatan untuk mengelola (memanej) segala aktivitas diri kita, terutama yang berkaiatan dengan masalah waktu; misalnya kapan kita bekerja, istirahat, makan, tidur dan sebagainya. Semua aktivitas tersebut memerlukan pengelolaan secara cermat dan tepat.
Dengan demikian, supaya puasa ramadhan tahun ini lebih bermakna dan lebih bernilai, maka kita mesti menyiapikan jasmani dan rahani untuk terjun di medan perjuangan yang penuh tantangan dengan mengelola (memanej) diri dalam berbagai aktivitas yang kita lakukan, baik ketika sedang menjalankan ibadah shaum ramadhan muapun setelah bulan ramadhan. Sehingga kita dapat meraih “prestasi” yang sangat tinggi dalam pandangan Allah, yakni taqwa.
Wa-Allahu ‘Alam.

Kamis, 18 Juni 2015

Suluk: Jalan Spiritual Menuju Tuhan



Suluk: Jalan Spiritual Menuju Tuhan
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)

“Tarekat adalah  beramal dengan syariat dengan mengambil atau memilih yang azimah (berat) daripada yang ruhshah (ringan), yakni menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah dari amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah dan menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru (syekh) atau mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya” (Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi’i al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub).
Tasawuf dapat diaktualisasikan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, baik dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut.
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah.
Dengan demikian, ada dua macam tarekat, yaitu; Pertama, tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.
Kata Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Kata suluk dalam terminologi al-Qur'an, dambil dari kata Fasluki, yang terdapat dalam Surat an-Nahl (16) ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuf dan tharikat.
Seorang salik adalah seseorang yang menjalani spiritual dalam menuju Tuhan, melalui jalan thariqat dengan cara membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Dengan kata lain, seorang salik adalah seorang penempuh jalan suluk. Untuk menjadi seorang salik, seorang muslim selama seumur hidupnya harus menjalani disiplin dalan melaksanakan syariat lahiriah sekaligus juga disiplin dalam menjalani syariat batiniah agama Islam. Seseorang tidak disebut sebagai seorang salik jika hanya menjalani salah satu disiplin tersebut. Seorang salik juga disebut sebagai seorang murid ketika ia menjalani disiplin spiritual tersebut dibawah bimbingan guru sufi tertentu, atau dalam tarekat tertentu. Janji setia dari calon murid atau salik kepada mursyid biasa disebut baiat atau talqin. Dalam suatu tarekat, baiat adalah sesuatu yang lazim. Biasanya yang melakukan proses baiat ialah mursyid kepada salik. Sebelum ke proses pembaiatan, umumnya diawali perkenalan dan penjelasan langkah-langkah yang harus ditempuh jika kelak resmi menjadi murid.
Dari konteks di atas, dapat ditarik benang hijaunya bahwa salik adalah seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan thariqat untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. dalam menjalani kehidupan spiritualnya menuju kehadirat Allah Seorang salik juga disebut sebagai seorang murid ketika ia menjalani disiplin spiritual tersebut dibawah bimbingan guru sufi tertentu, atau dalam tarekat tertentu. Janji setia dari calon murid atau salik kepada mursyid biasa disebut baiat atau talqin. Dalam suatu tarekat, baiat adalah sesuatu yang lazim. Biasanya yang melakukan proses baiat ialah mursyid kepada salik. Apabila proses tersebut telah diakukan seorang salik maka jadilah ia seorang murid dari seorang mursyid. Wa-Allahu ‘Alam.


Kualitas Mursyid Dalam Thariqah



Kualitas Mursyid Dalam Thariqah
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung Dan STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapatkan seorang mursyid (pemimpin) yang mampu memberi petunjuk kepadanya. (Al-Kahfi (18): 17)
Fungsi dan kedudukan mursyid dalam thariqat menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya baik lahir dan bathin, tapi juga senantisa memelihara dan mencegah dirinya dari hal-hal yang dapat menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam maksiat, seperti berbuat dosa besar atau dosa kecil. Selain itu ia juga, memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syara’ dan melaksanakan amal-amal sunnah agar selalu mendekatkan (taqarub) diri kepada Allah SWT guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, seirama dan sejalan dalam melaksanakan zikrullah (mengingat Allah) dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT. Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya dengan para wali Allah yang shaleh.
Term mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk ism fa’il (Inggris, present participle) dari kata kerja arsyada yursyidu yang secara bahasa (etimologi) berarti pembimbing, guru, pemimpin, petunjuk jalan. Kata tersebut diambil dari kata rasyad, artinya hal memperoleh petunjuk atau kebenaran atau dari kata rusyd dan rasyada, berarti hal mengikuti jalan yang benar atau lurus. Dengan demikian, makna mursyid adalah orang yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus. Dan dalam al-Quran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang diposisikan dengan kata dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyipati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya yang berfungsi sebagai seseorang untuk memberikan petunjuk kepada manusia (lihat QS. Al-Kahfi (18): 17).
Sedangkan dalam konteks tasawuf atau tarekat kata mursyid sering digunakan dengan istilah Syaikh yang diterjemahkan dengan guru. Istilah mursyid secara khusus pada kalangan sufi dan ahli thareqat itu adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan shaleh. Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah SWT dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijal-Allah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian fungsi mursyid merupakan faktor yang penting bagi murid (salik) untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian kepada Allah SWT. Dan dalam perjalanannya menuju Allah SWT, seorang murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata:
Orang yang tidak mempunyai syeikh atau mursyid, maka syekh atau mursyidnya itu adalah syetan.
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thariqah-Allah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal shaleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut yang hidup semasa dengannya, yaitu seorang guru yang terus meningkatkan dirinya pada kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi SAW. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah SWT, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thariqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu.
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif bi-Allah, seseorang harus mendapat tarbiah (pendidikan) dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam shiddiq (benar). Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid yang lain dan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya, tapi kehendak gurunya. Oleh sebab itu, orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan bagi murid-muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami kesesatan. Hal ini berarti, ia adalah mursyid palsu yang akan menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid tersebut.
Dari penjelasan di atas, seorang mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, guru, syekh, dan pemimpin umat yang kamil lagi mukammi,  yakni memiliki kepribadian yang bersih, arif terhadap ilmu dan berakhlak yang terpuji, serta mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya kearah akhlak mahmudah. Seorang mursyid harus memiliki keyakinan yang kokoh, menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah serta rahmat bagi segenap murid-muridnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dan juga mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobati jasmani dan ruhani mereka. Selain itu, ia juga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu, memiliki karamah dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thariqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut:
a.   Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thariqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Allah, sehingga pengaruh dari syaikh tersebut bagi orang yang meminta petunjuk padanya menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
b.   Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang perilakunya dapat ditiru dan dicontoh oleh murid-muridnya, demikian pula perkataan dan perbuatannya harus menjadi teladan bagi mereka.
c.   Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d.  Syaikh al Intisab, ialah guru yang selalu membimbing bagi umat, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
e.   Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thariqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f.    Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan tertentu bagi salik pemula dari pengamal thariqat.
Adapun fungsi dan peranan guru yang kita kenal dalam dunia pendidikan formal maupun non formal adalah sebagai transfer of knowledge (mengisi pengetahuan) dan ia mengajarkan pada murid-muridnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pendidikan yang diajarkan mursyid kepada muridnya adalah transfer of spiritual (mengisi ruhani), yakni Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid itu sama dengan fungsi guru dalam dunia pendidikan yaitu pemimpin, pembimbing dan pembina murid-muridnya, namun ranahnya berbeda, dimana seorang mursyid ranah yang diisi adalah ruhani yang sangat halus yang berpusat pada kalbu (hati), yang sifatnya tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan terminologi ketentuan dan kreteria mursyid di atas,  maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang sangat berat. Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi sekurang-kurangnya harus memiliki kriteria dan adab sebagai berikut:
a.  Alim, yakni ia seorang ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah tauhid, syariat, fiqih, dan akhlak serta membuang segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b.  Arif, yakni bijasana, lapang dada serta memiliki kesucian hati, akhlak (etika), ketulusan jiwa dan mengetahui penyakit dan mengetahui cara menyembuhkan murid-muridnya.
c.  Rahmah, yakni kasih sayang terhadap sesama muslim, terutama mereka yang menjadi muridnya.
e.  Amanah, yakni selalu memegang teguh amanah gurunya dan disampaikan kepada murid-muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa mereka miliki, kecuali ridha Allah.
Dengan demikian, kreteria serta syarat-syarat bagi seorang mursyid sangat berat. Sehingga kalau seorang mursyid itu sendiri ditanya, apakah kamu telah memenuhi kreteria dan syarat mursyid? Maka jawabnya pasti adalah sangat berat untuk mengatakan ya, atau kalau mau jawaban yang singkat, ia akan mengatakan tidak tahu. Karena sebenarnya bukan ia sendiri yang menilai kualitas dirinya, kecuali Allah SWT dan umatnya. Begitulah beratnya kriteria bagi seorang mursyid namun dia tentunya akan berusaha sekuat tenaga, sepenuh jiwa dan hati melaksanakan tugas-tugasnya itu. Dia harus selalu siap perintah Allah dan Rasul dan gurunya, yaitu mendawamkan dzikrullah kapan dan dimanapun secara sungguh-sungguh. Jadi hanya Allah dan Umat yang dapat menilai terhadap kualitas diri seorang mursyid.


.