Dakwah Berbasis Gerakan Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)
Pendahuluan
Salah
satu hadis Nabi Muhamad SAW, mengungkapkan bahwa ketika sebagian sahabat
memohon kepada beliau, agar mendoakan
keburukan dan mengutuk orang-orang musyrik dan kafir, Nabi SAW menjawab: “Aku diutus bukanlah
sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua
manusia”. (HR. Muslim).
Islam
adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Umat Islam tentu meyakini
misi rahmatan lil ‘alamin, sebab Term rahmatan
lil-’alamin telah diungkapkan dalam
Al Qur’an. diantaranya dalam surat
al-Ambiya ayat 7:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS. Al Anbiya’ : 107).
Dalam
ayat di atas, makna rahmatan
lil-’alamin secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad
SAW, Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi Muhamad sebagai
Rasul (utusan-Nya), kecuali kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam.
Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan
kerasulan dan kenabinya, Maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat
tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan penuh dan sempurna,
dan ada pula yang tidak.
Allah
SWT. tidak mengatakan ‘rahmatan lil mu’minin‘ (rahmat bagi orang-orang
mukmin), namun Dia (Allah) mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena
Allah ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya sebagai pemimpin
para Nabi, yaitu Muhammad SAW. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang
besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau
menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau
memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan
kebodohan). Beliau memberikan hidayah (petunjuk) kepada manusia yang sebelumnya
berada dalam kesesatan.
Ibnu
Abbas ra., sahabat Nabi SAW, pakar dalam
Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi SAW, maka akan
memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang
yang tidak beriman kepada Nabi SAW, maka tidak akan diselamatkan dari azab yang
ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah
menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit. Demikian penafsiran yang
dinilai paling kuat oleh Al Hafizh Jalaluddin Al Suyuthi dalam tafsirnya, Al-Durr
Al-Mantsur.
Penafsiran
di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-’alamin
telah menjadi karakteristik Nabi SAW. dalam dakwahnya. seperti dalam salah satu
hadis Nabi di atas, bahwa ketika sebagian sahabat memohon kepada beliau, agar mendoakan keburukan dan
mengutuk untuk orang-orang musyrik dan kafir, Nabi SAW menjawab: “Aku diutus bukanlah
sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua
manusia”. (HR. Muslim).
Penafsiran
di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-’alamin memiliki
keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi SAW. Dalam kitab-kitab Tafsir,
tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-’alamin dengan
sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini
berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-’alamin sangat erat kaitannya
dengan kerasulan Nabi SAW, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Maka
seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan
lil-’alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh
Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama
lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain,
atau doa bersama lintas agama dengan alasan itu adalah Islam rahmatan
lil-’alamin. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna
rahmatan lil-’alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
Sebagaimana
dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-’alamin, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus juga bertugas sebagai basyiiran
wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan kepada seluruh alam).
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al
Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.” (QS. Al Furqan : 1).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (QS. Saba’: 28).
Sebagai
pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan
orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga
bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
Islam
tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah
yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain,
jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Dakwah
Islam yang telah berlangsung lama ini pada intinya adalah sebuah proses dan usaha
tabligh dalam arti menyampaikan kebenaran ajaran agama untuk membangun tatanan
kehidupan yang penuh kedamaian dan jauh dari rasa dendam masa lalu serta
berusaha menatap masa depan yang lebih baik. Atau lain kata, dengan adanya
dakwah terjadi ‘perubahan’ kearah yang lebih baik. Dalam istilah fikih
dakwah, ialah membawa manusia dari keadaan jahiliyah menuju ilmiah, dari
keadaan kefaqiran menjadi penuh kesejahteraan, dari tidakteraturan menuju pada keteraturan,
dari ketergantungan menuju kemandirian, dari kekakuan menuju kedinamisan, dari
berpikir konsevatif menuju kemodernan, dari kemandegan menuju kemajuan dan
seterusnya.
Dakwah, sebagai
sarana atau media pembumian nilai-nilai Islam, sebagaimana diuraikan oleh para pakar
dakwah, mengambil bentuk dalam tiga karakteristik. Pertama, rabbaniyah
(ketauhidan). Kedua, syumuliyah (komprehenship). Ketiga, alamiyah
(universal). Rabbaniyah, sejatinya diderivasi langsung dari prinsip monoteisme
yang sering disinggung dalam kitab suci al-Qur’an. Demikian, karena pada
hakikatnya dakwah, menurut Ilyas Ismail dan Prio Hotman, merupakan ‘perpanjangan
tangan’ dari ajaran Islam. Dengan kata lain, dakwah merupakan instrumen
bagaimana konsep Islam yang masih berupa ‘ide’ dapat diwujudkan dalam
bentuk konkrit-empirik pada tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu, dakwah
mestilah berkarakteristik serupa dengan Islam sebagai paradigmanya. Dalam hal
ini, monoteisme (tauhid) sebagai pondasi dari Islam juga menjadi pondasi dari
dakwah itu sendiri.
Pengertian dan Unsur-unsur Dakwah
Dakwah, secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa
Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata: دعا – يدعو - دعوة
(da’a, yad’u, da’watan), yang artinya seruan, panggilan, undangan
atau do”a.
Secara
etimologi kata dakwah berarti : (1) memanggil; (2) menyeru; (3) menegaskan atau
membela sesuatu; (4) memohon dan meminta atau berdo’a. Artinya, proses
penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan untuk
mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seseorang
suapaya melakukan cita-cita tertentu.
Oleh karena itu, dalam kegiatan dakwah ada proses mengajak, maka orang
yang mengajak disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u.
Pengertian dakwah dari segi bahasa ini masih memiliki karakteristik yang umum,
karena yang namanya mengajak, memanggil atau menyeru bisa saja kepada arah
kebaikan dan keburukan. Definisi dakwah secara terminologi (istilah) para ahli
berbeda-beda. Namun menurut hemat penulis, bahwa dakwah adalah mengajak
manusia kepada kebajikan dan keselamatan didunia dan akhirat.
Dakwah akan terjadi apabila adanya unsur-unsur dakwah (arkan
al-dakwah). Karena tanpa adanya arkan dakwah ini proses dakwah tidak akan
terjadi. Adapun arkan dakwah tersebut adalah (1) Da’i, yaitu subjek atau pelaku dakwah. (2) Mawdhu
atau pesan Ilahiyah disebut: Jalan Tuhanmu (sabili rabbik), Din
al-Islam, jalan yang lurus dan meluruskan (al-sirath al-mustaqim), agama
yang ajeg dan bernilai guna (din al-qayim), agama yang coocok dengan
naluri ketuhanan) (din al-fitri), dan sebutan lainnya; (3) Uslub
(metode) yang antara lain dengan kajian ilmiah dan filosofis (bi al-hikmah),
persuasif (bi mauizah al-hasanah), dialogis (bi al-mujadalah),
pemberian kabar gembira (tabsyir), pemberian peringatan (inzar),
menyuruh kebaikan (amar ma’ruf), melarang kemungkaran (nahi munkar),
pemberian contoh yang baik (uswah hasanah) dan yang lainnya; (4) Washilah
(media) yang terdiri atas: lingkungan keluarga (dawr usrah, lingkungan
sekolah (dawr al-madrasah, surat (al-rasail), hadiah (targhib),
sangsi (al-tanbih), cerita (al-qishah), sumpah (al-qasm),
simulasi (al-mitsal), kekuasaan (al-quwwah), tulisan ( al-kitabah), ucapan (bi qawl), perilaku (bi amal),
percontohan (bi al-sairah al-hasanah), (5) Objek dakwah (mad’u), terdiri dari
manusia atas berbagai karekteristiknya, seperti jika dilihat dari aspek
kuantitasnya diri da’i sendiri, mad’u seorang, kelompok kecil, kelompok
terorganisir, orang banyak, dan orang dalam kelompok tertentu. Maka dalam tulisan ini lebih ditekakkan pada
unsure-unsur dakwah yang pertama, yaitu pelaku dakwah (da’i atau juru dakwah)
yang memiliki kempetensi dan kepribadiannya.
Dakwah tentunya tidak hanya dimaknai mengajak dan menyeru dengan bentuk ceramah atau tabligh
dari mimbar ke mimbar, dari pengajian ke pengajian, dan dari satu mesjid
kemesjid lainnya, tapi hal itu hanya bagian kecil dari dakwah. Secara harfiah
(bahasa) dakwah diartikan sebagai do’a (الدعاء), memohon, bertanya(السؤال), menjelaskan atau menerangkan (الأذان), panggilan atau mengundang (طلب الذهاب إلى الشيء), menyiarkan Islam (الدعاية) dan seterusnya.
Masyarakat
yang menjadi obyek dakwah (mad’u), semestinya diajak dan dibawa kepada memahami
kaidah-kaidah kehidupan pada mempertajam makna dan fungsinya
oleh peran
syariat Islam. Sudah
menjadi keharusan bahwa nilai dinul Islam untuk melahirkan masyarakat yang aktif dan proaktif
menghadapi perubahan sebagai suatu realitas yang mendorong melakukan perbaikan
kearah peningkatan mutu dengan basis ilmu pengetahuan (knowledge
base society), basis budaya (culture base sociaty) dan
basis agama
(religious base society) yang kuat. Dalam istilah Alquran mengeluarkan
manusia dari alam kegelapan menuju kealam terang cahaya (nur).
Gambaran Umum Masuknya Islam ke Nusantara
Islam
masuk ke tanah air Indonesia atau nusantara ini dengan jalan damai. Kedamaian
itu terjadi karena para penyebar Islam saat itu menggunakan metode yang jitu, misalnya
lebih arif, bijak, dan moderat. Metode inilah yang disebut oleh Abdul Muchith
Muzadi (2006:34) sebagai metode dakwah persuasif bukan konfrontatif. Tidak
heran bila Islam Indonesia pada awal kemunculannya tidak mengenal kekerasan dan
ekstrim, baik ekstrimisme kiri atau kanan. Ajaran Islam nusantara sejatinya
juga tidak condong kepada gerakan Islam radikal dan tidak permisif pada gerakan
Islam liberal.
Sikap
moderat seperti itu antara lain disebabkan kecerdasan dan kelihaian para juru
dakwah dalam memformulasi ajaran Islam dengan tradisi lokal. Walisongo
misalnya, menjadikan tradisi wayang, gending, ziarah dan peragaan bela diri
pencasilat sebagai sarana dakwah yang paling jitu dan spektakuler. Dengan
memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, Walisongo berhasil mengislamkan
hampir seluruh penduduk Jawa dengan damai tanpa perlawanan yang berarti dari
penduduk pribumi.
Dakwah Berbasis Gerakan Rahmatan Lil ‘Alamin
Metode
dan sikap yang arif dan bijak tersebut dirumuskan oleh para juru dakwah, tentunya
berdasarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, kemudian diformulasikan menjadi
sebuah ajaran Islam Indonesia yang khas dan membumi, yang dikenal dengan ajaran
tepo seliro. Ajaran tepo seliro ini ternyata dibangun di atas empat
prinsip dasar ajaran Islam yaitu tawassuth (moderat), tawazun
(seimbang), tasamuh (toleran) dan i’tidal (tegak lurus),
yang disingkat dengan 3T + I.
Pertama,
Tawasuth atau sikap tengah-tengah, moderat, tidak ekstrim kiri
ataupun ekstrim kanan. Hal ini disarikan dari firman Allah SWT:
Dan
demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS. al-Baqarah: 143).
Kedua, Tawazun (seimbang) dalam segala
hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang
bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan
membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka
al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. (QS al-Hadid: 25).
Ketiga, I’tidal (tegak lurus).
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian
menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi
(pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum
menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih
mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Keempat, Tasamuh
( toleran), yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan
keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman
Allah SWT:
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi
Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut ...... (QS.
Implementasi dan
aplikasi dakwah tersebut diwujud dalam bentuk sebagai berikut:
Pertama, saling
mengerti dan memahami dalam menjalin komunikasi
masing-masing. Sebab perbedaan adalah karunia Allah. Menghormati kebiasaan,
kesukaan masing masing. Mengedepankan pendidikan karakter secara proporsional
(baik pada diri masing-masing, maupun orang-orang terdekat yang relevan dengan
ketentuan yang dibenarkan syari’at.
Kedua, saling menerima dan kerjasama satu sama lain
dalam satu tim kerja (team work) dan
saling tolong-menolong (ta’awun), saling membantu satu sama lain. Satu
kesatuan kelompok adalah ibarat satu tubuh dengan beragam peran kehendak.
Dengan saling pengertian, beragam warna akan menampilkan keindahan.
Ketiga, saling
Menghargai dalam perkataan dan perasaan, bakat dan keinginan. Bersikap saling
menghargai adalah jembatan menuju kuatnya suatu kerjasama (team work).
Keempat, Saling
Memercayai, melahirkan kemerdekaan berfikir, inovasi dan kreasi mencapai
kemajuan dan keselarasan yang lebih maju dan meningkat. Hal tersebut mesti
disadari bahwa ini merupakan amanah Allâh.
Kelima, saling
menyintai dan menyayangi satu sama lain, sehingga akan membuahkan sikap lemah
lembut dalam bicara, bijaksana dalam pergaulan, tidak mudah
tersinggung, tidak saling membenci dan saling curiga. Pada akhirnya
sikap dan perilaku seperti itu menjadi modal besar untuk kegiatan public speaking (media dakwah) dengan budi
bahasa yang baik membangun misi keumatan. Merupakan realita yang objektif
dalam sebuah ungkapan adalah Siapa yang paling banyak menyelesaikan
persoalan masyarakat maka akan berpeluang banyak mengatur masyarakat. Wa-Allahu
‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar