Kamis, 07 Mei 2015

Dakwah Berbasis Gerakan Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia



Dakwah Berbasis Gerakan Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)
Pendahuluan
            Salah satu hadis Nabi Muhamad SAW, mengungkapkan bahwa ketika sebagian sahabat memohon  kepada beliau, agar mendoakan keburukan dan mengutuk orang-orang musyrik dan kafir,  Nabi SAW menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua manusia”. (HR. Muslim).         
            Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil ‘alamin, sebab  Term rahmatan lil-’alamin telah diungkapkan  dalam  Al Qur’an. diantaranya dalam surat al-Ambiya ayat 7:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS. Al Anbiya’ : 107).
            Dalam ayat di atas,  makna  rahmatan lil-’alamin  secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW,  Artinya,  Allah tidaklah menjadikan Nabi Muhamad sebagai Rasul (utusan-Nya), kecuali kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan dan kenabinya, Maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan penuh dan sempurna, dan ada pula yang tidak.
            Allah SWT. tidak mengatakan ‘rahmatan lil mu’minin‘ (rahmat bagi orang-orang mukmin), namun Dia (Allah) mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya sebagai pemimpin para Nabi, yaitu Muhammad SAW. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan kebodohan). Beliau memberikan hidayah (petunjuk) kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan.
            Ibnu Abbas ra., sahabat Nabi SAW, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi SAW, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi SAW, maka tidak akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit. Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh Al Hafizh Jalaluddin Al Suyuthi dalam tafsirnya, Al-Durr Al-Mantsur.
            Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-’alamin telah menjadi karakteristik Nabi SAW. dalam dakwahnya. seperti dalam salah satu hadis Nabi di atas, bahwa ketika sebagian sahabat memohon  kepada beliau, agar mendoakan keburukan dan mengutuk untuk orang-orang musyrik dan kafir,  Nabi SAW menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat (bagi semua manusia”. (HR. Muslim).
            Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-’alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi SAW. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-’alamin dengan sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-’alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi SAW, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
            Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-’alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan itu adalah Islam rahmatan lil-’alamin.  Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna rahmatan lil-’alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
            Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-’alamin, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
            “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqan : 1).
            “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28).
            Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
            Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
            Dakwah Islam yang telah berlangsung lama ini pada intinya adalah sebuah proses dan usaha tabligh dalam arti menyampaikan kebenaran ajaran agama untuk membangun tatanan kehidupan yang penuh kedamaian dan jauh dari rasa dendam masa lalu serta berusaha menatap masa depan yang lebih baik. Atau lain kata, dengan adanya dakwah terjadi ‘perubahan’ kearah yang lebih baik. Dalam istilah fikih dakwah, ialah membawa manusia dari keadaan jahiliyah menuju ilmiah, dari keadaan kefaqiran menjadi penuh kesejahteraan, dari tidakteraturan menuju pada keteraturan, dari ketergantungan menuju kemandirian, dari kekakuan menuju kedinamisan, dari berpikir konsevatif menuju kemodernan, dari kemandegan menuju kemajuan dan seterusnya.
Dakwah, sebagai sarana atau media pembumian nilai-nilai Islam, sebagaimana diuraikan oleh para pakar dakwah, mengambil bentuk dalam tiga karakteristik. Pertama, rabbaniyah (ketauhidan). Kedua, syumuliyah (komprehenship). Ketiga, alamiyah (universal). Rabbaniyah, sejatinya diderivasi langsung dari prinsip monoteisme yang sering disinggung dalam kitab suci al-Qur’an. Demikian, karena pada hakikatnya dakwah, menurut Ilyas Ismail dan Prio Hotman, merupakan ‘perpanjangan tangan’ dari ajaran Islam. Dengan kata lain, dakwah merupakan instrumen bagaimana konsep Islam yang masih berupa ‘ide’ dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit-empirik pada tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu, dakwah mestilah berkarakteristik serupa dengan Islam sebagai paradigmanya. Dalam hal ini, monoteisme (tauhid) sebagai pondasi dari Islam juga menjadi pondasi dari dakwah itu sendiri.

Pengertian dan Unsur-unsur Dakwah
Dakwah, secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata:  دعا – يدعو - دعوة   (da’a, yad’u, da’watan), yang artinya seruan, panggilan, undangan atau do”a.
Secara etimologi kata dakwah berarti : (1) memanggil; (2) menyeru; (3) menegaskan atau membela sesuatu; (4) memohon dan meminta atau berdo’a. Artinya, proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan untuk mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seseorang suapaya melakukan cita-cita tertentu.  Oleh karena itu, dalam kegiatan dakwah ada proses mengajak, maka orang yang mengajak disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u. Pengertian dakwah dari segi bahasa ini masih memiliki karakteristik yang umum, karena yang namanya mengajak, memanggil atau menyeru bisa saja kepada arah kebaikan dan keburukan. Definisi dakwah secara terminologi (istilah) para ahli berbeda-beda. Namun menurut hemat penulis, bahwa dakwah adalah mengajak manusia kepada kebajikan dan keselamatan didunia dan akhirat.
Dakwah akan terjadi apabila adanya unsur-unsur dakwah (arkan al-dakwah). Karena tanpa adanya arkan dakwah ini proses dakwah tidak akan terjadi. Adapun arkan dakwah tersebut adalah (1) Da’i, yaitu subjek atau pelaku dakwah. (2) Mawdhu atau pesan Ilahiyah disebut: Jalan Tuhanmu (sabili rabbik), Din al-Islam, jalan yang lurus dan meluruskan (al-sirath al-mustaqim), agama yang ajeg dan bernilai guna (din al-qayim), agama yang coocok dengan naluri ketuhanan) (din al-fitri), dan sebutan lainnya; (3) Uslub (metode) yang antara lain dengan kajian ilmiah dan filosofis (bi al-hikmah), persuasif (bi mauizah al-hasanah), dialogis (bi al-mujadalah), pemberian kabar gembira (tabsyir), pemberian peringatan (inzar), menyuruh kebaikan (amar ma’ruf), melarang kemungkaran (nahi munkar), pemberian contoh yang baik (uswah hasanah) dan yang lainnya; (4) Washilah (media) yang terdiri atas: lingkungan keluarga (dawr usrah, lingkungan sekolah (dawr al-madrasah, surat (al-rasail), hadiah (targhib), sangsi (al-tanbih), cerita (al-qishah), sumpah (al-qasm), simulasi (al-mitsal), kekuasaan (al-quwwah), tulisan ( al-kitabah),  ucapan (bi qawl), perilaku (bi amal), percontohan (bi al-sairah al-hasanah),  (5) Objek dakwah (mad’u), terdiri dari manusia atas berbagai karekteristiknya, seperti jika dilihat dari aspek kuantitasnya diri da’i sendiri, mad’u seorang, kelompok kecil, kelompok terorganisir, orang banyak, dan orang dalam kelompok tertentu. Maka dalam tulisan ini lebih ditekakkan pada unsure-unsur dakwah yang pertama, yaitu pelaku dakwah (da’i atau juru dakwah) yang memiliki kempetensi dan kepribadiannya.
Dakwah tentunya tidak hanya dimaknai mengajak  dan menyeru dengan bentuk ceramah atau tabligh dari mimbar ke mimbar, dari pengajian ke pengajian, dan dari satu mesjid kemesjid lainnya, tapi hal itu hanya bagian kecil dari dakwah. Secara harfiah (bahasa) dakwah diartikan sebagai do’a (الدعاء), memohon, bertanya(السؤال), menjelaskan atau menerangkan (الأذان), panggilan atau mengundang (طلب الذهاب إلى الشيء), menyiarkan Islam (الدعاية) dan seterusnya.
            Masyarakat yang menjadi obyek dakwah (mad’u), semestinya diajak dan dibawa kepada memahami kaidah-kaidah  kehidupan pada mempertajam makna dan fungsinya  oleh peran syariat Islam.  Sudah menjadi keharusan bahwa nilai dinul Islam untuk melahirkan masyarakat yang aktif dan proaktif  menghadapi perubahan sebagai suatu realitas yang mendorong melakukan perbaikan kearah peningkatan mutu dengan basis ilmu pengetahuan (knowledge base society), basis budaya (culture base sociaty) dan  basis agama (religious base society)  yang kuat. Dalam istilah Alquran mengeluarkan manusia dari alam kegelapan menuju kealam terang cahaya (nur).
Gambaran Umum Masuknya Islam ke Nusantara
            Islam masuk ke tanah air Indonesia atau nusantara ini dengan jalan damai. Kedamaian itu terjadi karena para penyebar Islam saat itu menggunakan metode yang jitu, misalnya lebih arif, bijak, dan moderat. Metode inilah yang disebut oleh Abdul Muchith Muzadi (2006:34) sebagai metode dakwah persuasif bukan konfrontatif. Tidak heran bila Islam Indonesia pada awal kemunculannya tidak mengenal kekerasan dan ekstrim, baik ekstrimisme kiri atau kanan. Ajaran Islam nusantara sejatinya juga tidak condong kepada gerakan Islam radikal dan tidak permisif pada gerakan Islam liberal.
            Sikap moderat seperti itu antara lain disebabkan kecerdasan dan kelihaian para juru dakwah dalam memformulasi ajaran Islam dengan tradisi lokal. Walisongo misalnya, menjadikan tradisi wayang, gending, ziarah dan peragaan bela diri pencasilat sebagai sarana dakwah yang paling jitu dan spektakuler. Dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, Walisongo berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Jawa dengan damai tanpa perlawanan yang berarti dari penduduk pribumi.
Dakwah Berbasis Gerakan Rahmatan Lil ‘Alamin
            Metode dan sikap yang arif dan bijak tersebut dirumuskan oleh para juru dakwah, tentunya berdasarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran Islam Indonesia yang khas dan membumi, yang dikenal dengan ajaran tepo seliro. Ajaran tepo seliro ini ternyata dibangun di atas empat prinsip dasar ajaran Islam yaitu tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan i’tidal (tegak lurus), yang disingkat dengan 3T + I.
            Pertama Tawasuth atau sikap tengah-tengah, moderat, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Hal ini disarikan dari firman Allah SWT:
            Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS. al-Baqarah: 143).
            Kedua, Tawazun (seimbang) dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
            Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25).
            KetigaI’tidal (tegak lurus). Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
            Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Keempat, Tasamuh ( toleran), yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
            Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut ...... (QS.
            Implementasi dan aplikasi dakwah tersebut diwujud dalam bentuk sebagai berikut:
            Pertama, saling mengerti  dan memahami dalam menjalin komunikasi masing-masing. Sebab perbedaan adalah karunia Allah. Menghormati kebiasaan, kesukaan masing masing. Mengedepankan pendidikan karakter secara proporsional (baik pada diri masing-masing, maupun orang-orang terdekat yang relevan dengan ketentuan yang dibenarkan syari’at.
            Kedua, saling menerima dan kerjasama satu sama lain  dalam satu  tim kerja (team work) dan saling tolong-menolong (ta’awun), saling membantu satu sama lain. Satu kesatuan kelompok adalah ibarat satu tubuh dengan beragam peran kehendak. Dengan saling pengertian, beragam warna akan menampilkan keindahan.
            Ketiga,  saling Menghargai dalam perkataan dan perasaan, bakat dan keinginan. Bersikap saling menghargai adalah jembatan menuju kuatnya suatu kerjasama (team work).
Keempat, Saling Memercayai, melahirkan kemerdekaan berfikir, inovasi dan kreasi mencapai kemajuan dan keselarasan yang lebih maju dan meningkat. Hal tersebut mesti disadari bahwa ini merupakan amanah Allâh.
            Kelima,  saling menyintai dan menyayangi satu sama lain, sehingga akan membuahkan sikap lemah lembut dalam bicara, bijaksana dalam pergaulan, tidak mudah tersinggung, tidak saling membenci dan saling curiga. Pada akhirnya sikap dan perilaku seperti itu menjadi modal besar untuk kegiatan  public speaking (media dakwah) dengan budi bahasa yang baik membangun misi keumatan. Merupakan realita yang objektif  dalam sebuah ungkapan adalah   Siapa yang paling banyak menyelesaikan persoalan masyarakat maka akan berpeluang banyak mengatur masyarakat. Wa-Allahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar