Senin, 11 Mei 2015

Strategi dan Pendekatan Dakwah Dalam Menghadapi Gerakan Radikalisme Di Indonesia



Strategi dan Pendekatan Dakwah
Dalam Menghadapi Gerakan Radikalisme Di Indonesia
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS. Ali Imran (3): 159).
Berbagai aksi teror dan tindak kekerasan atasnama Islam yang terjadi dalam kurun satu dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah penting dalam studi-studi terorisme dan radikalisme keagamaan. Merujuk kepada Global Terrorism Database (2007), dari total 421 tindak terrorisme di Indonesia yang tercatat sejak tahun 1970 hingga 2007, lebih 90% tindak terorisme terjadi pada tahun-tahun mendekati Soeharto lengser hingga memasuki era reformasi. Selain itu, jenis tidak terrorisme yang bersifat “fatal attacks” (aksi yang fatal) juga mengalami kenaikan serius pada kurun waktu tersebut. Termasuk penggunaan metode baru dalam melakukan teror, yakni aksi bom bunuh diri (suicide attacks) yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi.  Sejak peristiwa teror Bom Bali I yang menewaskan  202 orang hingga 2013, sekurangnya telah berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan radikal yang dikenal sebagai Jemaah Islamiah (JI) dan jaringannya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas sebagian besar gelombang teror di Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi teror tersebut, hingga Juni 2013 pemerintah telah menahan dan mengukum lebih kurang  900 orang yang didakwa terlibat tindak pidana teroris dan sekitar 70 terduga teroris ditembak mati.
Gerakan kelompok umat Islam radikal dalam aksi teror sama sekali bukan merupakan fenomena baru dalam sejarah politik di tanah air. Realitas sejarah dapat dicatat antaranya:  pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu kekerasan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an hingga awal 1960-an). Lalu, masa Orde Baru muncul juga serangkaian kekerasan dan pengeboman yang dikaitkan dengan gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat terbang Woyla oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad Zein tahun 1981, peledakan candi Borobudur oleh kelompok Syi’ah yang dipimpin Hussein al Habsy tahun 1985, dan sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi demokrasi hingga saat ini.
Aksi teror dan radikalisme pasca kemerdekaan masih juga bermunculan, menurut penulis,  fenomena terorisme di era reformasi merupakan fase ketiga yang merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase pertama, telah disebut sebelumnya, ditandai dengan munculnya gerakan DI/ TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh Kahar Muzakkar dan Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan Komando Jihad 1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII era Kartosoewirjo. Nama  Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, yang kemudian dikenal luas sebagai amir Jemaah Islamiyah (JI), telah muncul pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang terjadi saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.
Selain akar kesejarahan, pemikiran dan ideologi yang menginspirasi berkembangnya radikalisme keagamaan juga penting untuk ditelusuri. Perkembangan gagasan Islam radikal di tanah air, yang beberapa ekspresi politiknya dilakukan melalui aksi teror, banyak dipengaruhi oleh pandangan keislaman ulama klasik, seperti Ibnu Taimiyah, Sayid Quthb (pemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin Mesir) dan yang lainnya. Kuatnya pengaruh  para tokoh diatas juga dapat dibaca dengan jelas dalam berbagai buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi oleh kelompok-kelompok Islam radikal di tanah air.
Selain faktor sejarah, ideologi, dan faktor kebijakan negara yang sangat represif terhadap kelompok Islam juga ikut berperan penting yang mendorong kelompok Islam melancarkan aksi terror. 
Menurut pandangan penulis, secara garis besarnya,  dalam konteks sejarahnya, klasifikasi gerakan radikalisme di tanah air (sejak zaman penjajahan hingga sekarang), terdiri dari tiga macam, yaitu: Pertama, radikalisme dalam pemikiran. seperti Serikat Islam (SI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syiah, Ahmadiyah dan lain-lain. Dalam pandangan dunia Barat sering juga disebut sebagai fundamentalisme. Kedua, radikalisme dalam tindakan, sering disebut aksi terorisme, seperti Darul Islam (DI), Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain. Ketiga, kombinasi pemikiran dan tindakan. Seperti DI/TII, Republik Maluku Selatan (RMS), Partai Komunis Indonesia (PKI), Jamaah Islamiyah (JI) dan lain-lain.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam menentukan klasifikasi dan tipologi gerakan radikal di Indonesia, tentunya kita tidak boleh tergesah-gesah dan mesti hati-hati,  karena hal tersebut merupakan wilayah sensitifas umat dalam pemikiran bahkan keyakinan beragama, sehingga dibutuhkan verifikasi dan penelitian yang cermat dan benar. Oleh sebab itu, ormas dan organisasi (yang penulis sebutkan) di atas hanya sekedar contoh, tapi sekali lagi perlu dikaji dan teliti kembali lebih lanjut.  
Dalam menyambut era kebangkitan Islam di Indonesia adalah hadirnya gejala-gejala keagamaan yang muncul secara dominan sejak tahun 1980-an yang ditandai oleh menguatnya kecenderungan orang-orang Islam untuk kembali kepada agama mereka dengan mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kecenderungan ini bisa dikatakan baru karena hal itu tidak muncul di tahun 1960-an sehingga kebangkitan Islam baru muncul di awal tahun 1980-an. Bangkitnya Islam di Indonesia diantaranya telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam Islam sendiri atau dari luar Islam. Dan pada umumnya, tindakan radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada.
Dengan bermuculanya gerakan radikal dan aksi teror yang dapat mengancam kesatuan, keamanan, ketertiban masyarakat dan bangsa secara keseluruhan di tanah ini, maka hal tersebut tidak boleh dibiarkan, tentunya seluruh komponen bangsa serta pemerintah dengan sinergi bekerjasama melakukan pencegahan, mengantisifasi serta meredamnya. Walaupun usaha kearah tersebut telah dan sedang dilakukan, khusus oleh pemerintah, Ormas Islam (seperti NU dan Muhamadiyah), dan masyarakat, namun nampak usaha tersebut belum maksimal, sebab setelah yang satu selesai ditangani, kemudian muncul lagi yang lainnya dan seterusnya. Menurut pendapat penulis, dalam konteks dakwah, kedepannya perlu dibangun strategi dan pendekatan dakwah yang lebih intens dan mesti dikelola (dimanaj) secara serius oleh semua elemen bangsa ini. Adapun strategi dan pendekatan dakwah tersebut secara garis besarnya melalui dakwah kultural dan dakwah struktural.
Pertama, dakwah kultural (hard power), yakni dakwah yang dilakukan oleh umat Islam, baik secara lisan, tulisan, dialog dan lain-lain, tanpa melibatkan pemerintah atau penguasa negara, namun memiliki ilmu pengetahuan, potensi dan kemampuan, seperti ulama, intelek, tokoh masyakat dan yang lainnya, untuk mengajak dan mendidik masyarakat Indonesia (secara keseluruhan) dalam memberikan pemahaman agama yang konprehensif dan benar serta menebar kedamaian, saling menghormati dan kasih sayang antara sesama, sebagai perwujudan nilai-nilai Islam rahmatan lil Alamin. Adapun sarana yang dapat digunakan antara lain masjid, lembaga pendidikan, majlis ta’lim dan yang lainnya.
Kedua, dakwah struktural (soft power), atau disebut juga dakwah politik, yakni dakwah yang dilakukan pemerintah atau penguasa negara dan perangkat-perangkatnya, seperti kepolisian, penegak hukum, dan TNI (seperti DENSUS 88). Sarana yang dapat digunakan adalah kekuasaan, pengadilan dan senjata.
Dengan demikian,  pendekatan dakwah kultural (hard power) dan dakwah struktural (soft power), yakni antara ulama, umat (masyarakat) dan pemerintah harus bekerjasama dan sama-sama kerja secara intens dan senergis, sehingga menjadi kekuatan (power) yang lengkap dan tangguh dalam meredam, mencegah dan melawan gerakan radikal dan aksi teroris, yang dapat menggangu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), idiologi bangsa (Pancasila dan UUD 1945),  keamanan, dan ketertiban masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari Sabang sampai Meruke. Wa-Allahu ‘Alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar