Strategi dan Pendekatan Dakwah
Dalam Menghadapi Gerakan
Radikalisme Di Indonesia
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu (QS.
Ali Imran (3): 159).
Berbagai aksi
teror dan tindak kekerasan atasnama Islam yang terjadi dalam kurun satu
dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah
penting dalam studi-studi terorisme dan radikalisme keagamaan. Merujuk
kepada Global Terrorism Database (2007), dari total 421
tindak terrorisme di Indonesia yang tercatat sejak tahun 1970 hingga 2007,
lebih 90% tindak terorisme terjadi pada tahun-tahun mendekati Soeharto lengser
hingga memasuki era reformasi. Selain itu, jenis tidak terrorisme yang bersifat
“fatal attacks” (aksi yang fatal)
juga mengalami kenaikan serius pada kurun waktu tersebut. Termasuk penggunaan
metode baru dalam melakukan teror, yakni aksi bom bunuh diri (suicide
attacks) yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi. Sejak
peristiwa teror Bom Bali I yang menewaskan 202 orang hingga 2013,
sekurangnya telah berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan
radikal yang dikenal sebagai Jemaah Islamiah (JI) dan jaringannya dianggap
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas sebagian besar gelombang teror
di Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi teror tersebut, hingga
Juni 2013 pemerintah telah menahan dan mengukum lebih kurang 900 orang
yang didakwa terlibat tindak pidana teroris dan sekitar 70 terduga teroris
ditembak mati.
Gerakan
kelompok umat Islam radikal dalam aksi teror sama sekali bukan merupakan
fenomena baru dalam sejarah politik di tanah air. Realitas sejarah dapat
dicatat antaranya: pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu kekerasan
oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an hingga awal
1960-an). Lalu, masa Orde Baru muncul juga serangkaian kekerasan dan pengeboman
yang dikaitkan dengan gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat terbang Woyla
oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad Zein tahun 1981,
peledakan candi Borobudur oleh kelompok Syi’ah yang dipimpin Hussein al Habsy tahun
1985, dan sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan
berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi demokrasi hingga saat
ini.
Aksi teror
dan radikalisme pasca kemerdekaan masih juga bermunculan, menurut
penulis, fenomena terorisme di era reformasi merupakan fase ketiga yang
merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase pertama, telah disebut sebelumnya,
ditandai dengan munculnya gerakan DI/ TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti
oleh Kahar Muzakkar dan Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan Komando
Jihad 1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota
DI/TII era Kartosoewirjo. Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir,
yang kemudian dikenal luas sebagai amir Jemaah Islamiyah (JI), telah muncul
pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang terjadi
saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.
Selain akar
kesejarahan, pemikiran dan ideologi yang menginspirasi berkembangnya
radikalisme keagamaan juga penting untuk ditelusuri. Perkembangan gagasan Islam
radikal di tanah air, yang beberapa ekspresi politiknya dilakukan melalui aksi
teror, banyak dipengaruhi oleh pandangan keislaman ulama klasik, seperti Ibnu
Taimiyah, Sayid Quthb (pemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin Mesir) dan yang
lainnya. Kuatnya pengaruh para tokoh diatas juga dapat dibaca dengan
jelas dalam berbagai buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi
oleh kelompok-kelompok Islam radikal di tanah air.
Selain
faktor sejarah, ideologi, dan
faktor kebijakan negara yang sangat represif terhadap kelompok Islam juga ikut
berperan penting yang mendorong kelompok Islam melancarkan aksi terror.
Menurut
pandangan penulis, secara garis besarnya,
dalam konteks sejarahnya, klasifikasi gerakan radikalisme di tanah air (sejak
zaman penjajahan hingga sekarang), terdiri dari tiga macam, yaitu: Pertama, radikalisme dalam pemikiran.
seperti Serikat Islam (SI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Negara Islam
Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Syiah, Ahmadiyah dan lain-lain.
Dalam pandangan dunia Barat sering juga disebut sebagai fundamentalisme. Kedua, radikalisme dalam tindakan,
sering disebut aksi terorisme, seperti Darul Islam (DI), Front Pembela Islam
(FPI) dan lain-lain. Ketiga, kombinasi
pemikiran dan tindakan. Seperti DI/TII, Republik Maluku Selatan (RMS), Partai
Komunis Indonesia (PKI), Jamaah Islamiyah (JI) dan lain-lain.
Namun, perlu
dicatat bahwa dalam menentukan klasifikasi dan tipologi gerakan radikal di
Indonesia, tentunya kita tidak boleh tergesah-gesah dan mesti hati-hati, karena
hal tersebut merupakan wilayah sensitifas
umat dalam pemikiran bahkan keyakinan beragama, sehingga dibutuhkan verifikasi
dan penelitian yang cermat dan benar. Oleh sebab itu, ormas dan organisasi
(yang penulis sebutkan) di atas hanya sekedar contoh, tapi sekali lagi perlu
dikaji dan teliti kembali lebih lanjut.
Dalam
menyambut era kebangkitan Islam di Indonesia adalah hadirnya gejala-gejala
keagamaan yang muncul secara dominan sejak tahun 1980-an yang ditandai oleh
menguatnya kecenderungan orang-orang Islam untuk kembali kepada agama mereka
dengan mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kecenderungan
ini bisa dikatakan baru karena hal itu tidak muncul di tahun 1960-an sehingga
kebangkitan Islam baru muncul di awal tahun 1980-an. Bangkitnya Islam di
Indonesia diantaranya telah terdorong oleh faktor-faktor tertentu yang berasal
dari dalam Islam sendiri atau dari luar Islam. Dan pada umumnya, tindakan
radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung,
biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan
perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau
nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi
yang ditolak, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini
menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan
dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan
tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada.
Dengan
bermuculanya gerakan radikal dan aksi teror yang dapat mengancam kesatuan,
keamanan, ketertiban masyarakat dan bangsa secara keseluruhan di tanah ini,
maka hal tersebut tidak boleh dibiarkan, tentunya seluruh komponen bangsa serta
pemerintah dengan sinergi bekerjasama melakukan pencegahan, mengantisifasi
serta meredamnya. Walaupun usaha kearah tersebut telah dan sedang dilakukan,
khusus oleh pemerintah, Ormas Islam (seperti NU dan Muhamadiyah), dan
masyarakat, namun nampak usaha tersebut belum maksimal, sebab setelah yang satu
selesai ditangani, kemudian muncul lagi yang lainnya dan seterusnya. Menurut
pendapat penulis, dalam konteks dakwah, kedepannya perlu dibangun strategi dan pendekatan
dakwah yang lebih intens dan mesti dikelola (dimanaj) secara serius oleh semua
elemen bangsa ini. Adapun strategi dan pendekatan dakwah tersebut secara garis
besarnya melalui dakwah kultural dan dakwah struktural.
Pertama,
dakwah kultural (hard power), yakni
dakwah yang dilakukan oleh umat Islam, baik secara lisan, tulisan, dialog dan
lain-lain, tanpa melibatkan pemerintah atau penguasa negara, namun memiliki ilmu
pengetahuan, potensi dan kemampuan, seperti ulama, intelek, tokoh masyakat dan
yang lainnya, untuk mengajak dan mendidik masyarakat Indonesia (secara
keseluruhan) dalam memberikan pemahaman agama yang konprehensif dan benar serta
menebar kedamaian, saling menghormati dan kasih sayang antara sesama, sebagai
perwujudan nilai-nilai Islam rahmatan lil
Alamin. Adapun sarana yang dapat digunakan antara lain masjid, lembaga
pendidikan, majlis ta’lim dan yang lainnya.
Kedua,
dakwah struktural (soft power), atau
disebut juga dakwah politik, yakni dakwah yang dilakukan pemerintah atau
penguasa negara dan perangkat-perangkatnya, seperti kepolisian, penegak hukum,
dan TNI (seperti DENSUS 88). Sarana yang dapat digunakan adalah kekuasaan,
pengadilan dan senjata.
Dengan demikian, pendekatan dakwah kultural (hard power) dan dakwah struktural (soft power), yakni antara ulama, umat
(masyarakat) dan pemerintah harus bekerjasama dan sama-sama kerja secara intens
dan senergis, sehingga menjadi kekuatan (power)
yang lengkap dan tangguh dalam meredam, mencegah dan melawan gerakan radikal
dan aksi teroris, yang dapat menggangu kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), idiologi bangsa (Pancasila dan UUD 1945), keamanan, dan ketertiban masyarakat Indonesia
secara keseluruhan dari Sabang sampai Meruke. Wa-Allahu ‘Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar