Paradigma Dakwah Transpormatif: Da’i Sebagai Fasilitator Masyarakat
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen (UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis) dan Ketua
Tanfidz MWC NU Kecamatan Cibiru Kota Bandung)
Pendahuluan
Dalam Sebuah kisah, Rasulullah SAW setiap pagi pergi ke pasar untuk
memberi makan dan menyuapi seorang pengemis yang sering mangkal di pinggiran
pasar tersebut. Padahal pengemis itu setiap hari selalu mencaci-maki, menghina
dan menjelekkan Rasulullah. Dia (si Pengemis) tidak tahu kalau yang sering
memberi makan dan menyuapinya setiap pagi itu adalah Rasulullah. Suatu ketika
Rasulullah meninggal dunia, maka yang memberi makan dan menyuapi si pengemis
dilanjutkan oleh Abu Bakar As-Sidiq. RA (atas anjuran Rasulullah). Namun suatu
saat, si pengemis tersebut dalam pirasat hatinya merasakan kalau yang memberi
makan dan menyuapinya itu seperti bukan orang biasanya. Dan Abu bakar pun
menyampaikan kalau orang yang biasa memberi makan dan menyuapinya setiap pagi
adalah orang yang sering kamu caci-maki dan menghinanya itu telah wafat, dan
saya adalah orang menggantikannya, kata Abu Bakar. Maka si pengemis itu pun
spontan menangis dan merasa menyesal, dan akhirnya ia menyatakan diri masuk
Islam.
Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja dan karya besar
manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang dipersembahkan
untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan,
meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagian atas
dasar ridha Allah SWT. Dengan demikian, baik secara teologis maupun sosiologis
dakwah akan tetap ada selama umat manusia masih ada dan selama Islam masih
menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah)
bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan
konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual
dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa
serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan
masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan
derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan
bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau
proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai
pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa
tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam
bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan
salah satu unsur dakwah.
Pengertian
Dakwah
Dakwah, secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa
Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata: دعا – يدعو - دعوة
(da’a, yad’u, da’watan), yang artinya seruan, panggilan, undangan
atau do”a.
Secara etimologi kata dakwah berarti : (1) memanggil; (2) menyeru;
(3) menegaskan atau membela sesuatu; (4) memohon dan meminta atau berdo’a. Artinya,
proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan untuk
mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seseorang
suapaya melakukan cita-cita tertentu.
Oleh karena itu, dalam kegiatan dakwah ada proses mengajak, maka orang
yang mengajak disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u.
Pengertian dakwah dari segi bahasa ini masih memiliki karakteristik yang umum,
karena yang namanya mengajak, memanggil atau menyeru bisa saja kepada arah
kebaikan dan keburukan.
Term dakwah dalam al-Quran yang dipandang paling populer adalah yad’una
ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan ‘yanhawna ‘an al-munkar.
Dalam konteks ini, seorang muslim secara khusus mempunyai kewajiban dan
tanggungjawab moral untuk hadir ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat
sebagai bukti dan saksi kehidupan Islami (syuhada ‘ala al-nas), umat
pilihan (khoero ummah) yang mampu merealisasikan nilai-nilai Ilahi,
yaitu menyatakan dan menyerukan al-khoer, sebagai kebenaran prinsipil
dan universal (ya’uuna ila al-khoer), melaksanakan dan menganjurkan al-ma’ruf,
yaitu nilai-nilai kebenaran kultural (ya’muruuna bi al-ma’ruf), serta
menjauhi dan mencegah kemunkaran (yanhawna ani al-munkar). Disamping
istilah tersebut dalam al-Quran juga memperkenalkan istilah-istilah lain yang
dipandang berkaitan dengan tema umum dakwah, seperti tabligh
(penyampaian), tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tabsyir
(penyampaian berita gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah
(nasehat), tadzakir dan tanbih (peringatan).
Menurut Asmuni Syukir (1983: 20), bahwa
istilah dakwah itu, dapat diartikan dari dua segi, atau dua sudut pandang,
yakni pengertian dakwah yang bersifat pembinaan dan pengertian dakwah
yang bersifat pengembangan. Pembinaan
artinya suatu
kegiatan untuk mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal
yang telah ada sebelumnya.
Dakwah mengandung pengertian sebagai
suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk
lisan, tulisan, tingkah-laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan
berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individu maupun
kelompok, supaya muncul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap serta
pengamalan terhadap agama sebagai materi (massage) yang disampaikan kepadanya
dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Dengan demikian esensi dakwah adalah
terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), ransangan serta bimbingan terhadap
orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk
kebaikan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah atau da’i.
Paradigma Dakwah
Transformatif
Pengertian
paradigma secara garis besarnya berarti pandangan
dasar. Sedangkan dakwah transformatif diartikan sebagai dakwah yang
nyata (riil) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi objek dakwah. Maka yang
dimaksud dengan paradigma dakwah transformatif adalah sebagai pandangan dasar tentang proses
dakwah yang nyata sesuai kebutuhan dan kondisi objek dakwah yang dihadapinya.
Dakwah transformatif
merupakan model dakwah yang tidak hanya mengandalkan dakwah secara verbal
(konvensional) dalam menyampaikan materi ajaran Islam kepada masyarakat, namun
dakwah tersebut dengan cara menginternalisasikan pesan ajaran Islam dalam
kehidupan nyata masyarakat dengan melakukan pendampingan, mengawal, dan
mengarahkannya secara langsung di lapangan. Dengan demikian, masyarakat atau
umat (sebagai objek dakwah) bukan hanya diorientasikan pada aspek religiustas
semata, akan tetapi mewujudkan, memperkuat dan mempertahankan basis sosial-nya
juga. oleh sebab itu, diharapkan da’i (juru dakwah) memiliki peran ganda,
yaitu sebagai penyebar ajaran agama dan pendamping masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupannya, seperti masalah penggusuran rumah dan lahan, lingkungan
hidup, kemiskinan, penindasan, komplik antar umat, problem kemanusian dan yang
lainnya.
Paling tidak langkah-langkah
yang mesti dilakukan oleh juru dakwah (da’i) terdapat empat aspek dalam
pelaksanaan dakwah transformatif, yaitu pertama, aspek materi. Yakni materi
yang awalnya lebih banyak pada persoalan ubudiyah, maka diarahkan pada masalah
sosial. Kedua, aspek metodologi. Yakni yang tadinya melalui pendekatan
monolog (dakwah secara verbal semata) ke pendekatan dialog langsung dengan
masyarakat. Sehingga problem yang sedang dan akan dihadapi masyarakat dapat
diidentifikasi secara jelas, sekaligus dapat dicarikan solusinya dengan tepat.
Sekedar tambahan, bahwa dakwah monolog kecenderungan bersifat doktrinasi,
sedangkan ajaran Islam tidak hanya berbicara masalah itu, namun juga masalah
pencerahan dan pemberdayaan umat. Ketiga,
aspek kelembagaan dakwah. Yakni dakwah mesti terorganisir secara baik dalam
suatu wadah organisasi. Sehingga dalam wadah tersebut dapat dibangun kerjasama secara
internal (di dalam) antara da’i yang satu dengan yang lainnya secara simultan
dan konsisten. Bahkan harus juga dibangun jaringan kerjasama secara eksternal
(ke luar) dengan berbagai lembaga atau organisasi lainnya, sehingga kelambagaan
dakwah tersebut menjadi kuat. Keempat, aspek advokasi (pembelaan) terhadap
masyarakat lemah dan tertindas (mustadafin). Yakni dakwah yang dilakukan
mengutamakan pembelaan terhadap masyarakat yang lemah secara ekonomi,
masyarakat yang tertindas dan termarjinalkan oleh pihak-pihak tertentu yang secara sewenang-wenang terhadap mereka.
misalnya kasus penggusuran tanah dan rumah masyarakat miskin, pencemaran
lingkungan oleh perusahan tertentu, masalah GEPENG (gelandangan dan pengamen
jalanan) dan yang lainnya.
Dengan demikian,
dari paparan diatas dapat diambil benang merahnya, bahwa dakwah transformatif
adalah dakwah yang dilakukan oleh juru dakwah (da’i) secara nyata, mendampingi
serta melakukan pembelaan masyarakat dilapangan sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi masyarakat yang dihadapinya. Adapun langkah-langkah juru dakwah (da’i) yang
mesti dilakukan dalam dakwah transformatif sebagai berikut, yaitu 1) aspek
materi; yakni dari masalah ubudiah
semata ke masalah sosial, 2) aspek metodologi, yakni dari dakwah monolog ke
dialog, 3) aspek kelembagaan dakwah; yakni dari dakwah personal ke kolektif, dan
4) aspek advokasi; yakni dari pembelaan dan keberpihakan pada kaum mustakbiran
ke kaum mustadafin.
Referensi
Al-Attas Muhamad Nuqaib. 2011. Islam dan Sukulerisme, Terj.
Khalif Muamar dkk, Bandung: Pimpin.
Ahmad Gojin, 2014. Kumpulan Artikel: Tentang Epistimologi Islam
dan Barat, Dakwah Transpormatif, Pendidikan Islam, Bandung: t.p.
Anwar Masy’ari. 1993. Butir-Butir Problematika Dakwah,
Surabaya: Bina Ilmu.
Hadian Husaini. 2009. Indonesia Masa Depan, Perspektif Peradaban
Islam, Jakarta: DDII.
_____________. 2005. Membendung Arus Liberalisme di Indonesia,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Muhamad Ali Aziz. 2004. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana.
Munzier Suparta. 2003. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana.
M. Amien Rais, 1991. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta,
Bandung: Mizan.
Mukti A. Ali. 1993. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini,
Jakarta: Rajawali Pers.
Thoha Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis,
Jakarta: Perspektif.
Yusril Ihza Mahendra. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam
Politik Islam, Jakarta: Paramadina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar