Sabtu, 25 April 2015

Paradigma Dakwah Transpormatif: Da’i Sebagai Fasilitator Masyarakat



Paradigma Dakwah Transpormatif: Da’i Sebagai Fasilitator Masyarakat
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen (UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis) dan Ketua Tanfidz MWC NU Kecamatan Cibiru Kota Bandung)

Pendahuluan
Dalam Sebuah kisah, Rasulullah SAW setiap pagi pergi ke pasar untuk memberi makan dan menyuapi seorang pengemis yang sering mangkal di pinggiran pasar tersebut. Padahal pengemis itu setiap hari selalu mencaci-maki, menghina dan menjelekkan Rasulullah. Dia (si Pengemis) tidak tahu kalau yang sering memberi makan dan menyuapinya setiap pagi itu adalah Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah meninggal dunia, maka yang memberi makan dan menyuapi si pengemis dilanjutkan oleh Abu Bakar As-Sidiq. RA (atas anjuran Rasulullah). Namun suatu saat, si pengemis tersebut dalam pirasat hatinya merasakan kalau yang memberi makan dan menyuapinya itu seperti bukan orang biasanya. Dan Abu bakar pun menyampaikan kalau orang yang biasa memberi makan dan menyuapinya setiap pagi adalah orang yang sering kamu caci-maki dan menghinanya itu telah wafat, dan saya adalah orang menggantikannya, kata Abu Bakar. Maka si pengemis itu pun spontan menangis dan merasa menyesal, dan akhirnya ia menyatakan diri masuk Islam.
Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja dan karya besar manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagian atas dasar ridha Allah SWT. Dengan demikian, baik secara teologis maupun sosiologis dakwah akan tetap ada selama umat manusia masih ada dan selama Islam masih menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah) bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan salah satu unsur dakwah.
Pengertian Dakwah
Dakwah, secara bahasa (etimologi) merupakan sebuah kata dari bahasa Arab dalam bentuk masdar. Kata dakwah berasal dari kata:  دعا – يدعو - دعوة   (da’a, yad’u, da’watan), yang artinya seruan, panggilan, undangan atau do”a.
Secara etimologi kata dakwah berarti : (1) memanggil; (2) menyeru; (3) menegaskan atau membela sesuatu; (4) memohon dan meminta atau berdo’a. Artinya, proses penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan, seruan, undangan untuk mengikuti pesan tersebut atau menyeru dengan tujuan untuk mendorong seseorang suapaya melakukan cita-cita tertentu.  Oleh karena itu, dalam kegiatan dakwah ada proses mengajak, maka orang yang mengajak disebut da’i dan orang yang diajak disebut mad’u. Pengertian dakwah dari segi bahasa ini masih memiliki karakteristik yang umum, karena yang namanya mengajak, memanggil atau menyeru bisa saja kepada arah kebaikan dan keburukan.
Term dakwah dalam al-Quran yang dipandang paling populer adalah yad’una ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan ‘yanhawna ‘an al-munkar. Dalam konteks ini, seorang muslim secara khusus mempunyai kewajiban dan tanggungjawab moral untuk hadir ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat sebagai bukti dan saksi kehidupan Islami (syuhada ‘ala al-nas), umat pilihan (khoero ummah) yang mampu merealisasikan nilai-nilai Ilahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khoer, sebagai kebenaran prinsipil dan universal (ya’uuna ila al-khoer), melaksanakan dan menganjurkan al-ma’ruf, yaitu nilai-nilai kebenaran kultural (ya’muruuna bi al-ma’ruf), serta menjauhi dan mencegah kemunkaran (yanhawna ani al-munkar). Disamping istilah tersebut dalam al-Quran juga memperkenalkan istilah-istilah lain yang dipandang berkaitan dengan tema umum dakwah, seperti tabligh (penyampaian), tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), tabsyir (penyampaian berita gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah (nasehat), tadzakir dan tanbih (peringatan).  
Menurut Asmuni Syukir (1983: 20), bahwa istilah dakwah itu, dapat diartikan dari dua segi, atau dua sudut pandang, yakni pengertian dakwah yang bersifat pembinaan dan pengertian dakwah yang bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan untuk mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang telah ada sebelumnya.
Dakwah mengandung pengertian sebagai suatu  kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah-laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individu maupun kelompok, supaya muncul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap serta pengamalan terhadap agama sebagai materi (massage) yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Dengan demikian esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), ransangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk kebaikan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah atau da’i.
Paradigma Dakwah Transformatif
            Pengertian paradigma secara garis besarnya berarti  pandangan dasar. Sedangkan dakwah transformatif diartikan sebagai dakwah yang nyata (riil) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi objek dakwah. Maka yang dimaksud dengan paradigma dakwah transformatif adalah  sebagai pandangan dasar tentang proses dakwah yang nyata sesuai kebutuhan dan kondisi objek dakwah yang dihadapinya.
            Dakwah transformatif merupakan model dakwah yang tidak hanya mengandalkan dakwah secara verbal (konvensional) dalam menyampaikan materi ajaran Islam kepada masyarakat, namun dakwah tersebut dengan cara menginternalisasikan pesan ajaran Islam dalam kehidupan nyata masyarakat dengan melakukan pendampingan, mengawal, dan mengarahkannya secara langsung di lapangan. Dengan demikian, masyarakat atau umat (sebagai objek dakwah) bukan hanya diorientasikan pada aspek religiustas semata, akan tetapi mewujudkan, memperkuat dan mempertahankan basis sosial-nya juga. oleh sebab itu, diharapkan da’i (juru dakwah) memiliki peran ganda, yaitu sebagai penyebar ajaran agama dan pendamping masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya, seperti masalah penggusuran rumah dan lahan, lingkungan hidup, kemiskinan, penindasan, komplik antar umat, problem kemanusian dan yang lainnya.
            Paling tidak langkah-langkah yang mesti dilakukan oleh juru dakwah (da’i) terdapat empat aspek dalam pelaksanaan dakwah transformatif, yaitu pertama, aspek materi. Yakni materi yang awalnya lebih banyak pada persoalan ubudiyah, maka diarahkan pada masalah sosial. Kedua, aspek metodologi. Yakni yang tadinya melalui pendekatan monolog (dakwah secara verbal semata) ke pendekatan dialog langsung dengan masyarakat. Sehingga problem yang sedang dan akan dihadapi masyarakat dapat diidentifikasi secara jelas, sekaligus dapat dicarikan solusinya dengan tepat. Sekedar tambahan, bahwa dakwah monolog kecenderungan bersifat doktrinasi, sedangkan ajaran Islam tidak hanya berbicara masalah itu, namun juga masalah pencerahan dan pemberdayaan umat.  Ketiga, aspek kelembagaan dakwah. Yakni dakwah mesti terorganisir secara baik dalam suatu wadah organisasi. Sehingga dalam wadah tersebut dapat dibangun kerjasama secara internal (di dalam) antara da’i yang satu dengan yang lainnya secara simultan dan konsisten. Bahkan harus juga dibangun jaringan kerjasama secara eksternal (ke luar) dengan berbagai lembaga atau organisasi lainnya, sehingga kelambagaan dakwah tersebut menjadi kuat. Keempat, aspek advokasi (pembelaan) terhadap masyarakat lemah dan tertindas (mustadafin). Yakni dakwah yang dilakukan mengutamakan pembelaan terhadap masyarakat yang lemah secara ekonomi, masyarakat yang tertindas dan termarjinalkan oleh pihak-pihak tertentu  yang secara sewenang-wenang terhadap mereka. misalnya kasus penggusuran tanah dan rumah masyarakat miskin, pencemaran lingkungan oleh perusahan tertentu, masalah GEPENG (gelandangan dan pengamen jalanan) dan yang lainnya.
            Dengan demikian, dari paparan diatas dapat diambil benang merahnya, bahwa dakwah transformatif adalah dakwah yang dilakukan oleh juru dakwah (da’i) secara nyata, mendampingi serta melakukan pembelaan masyarakat dilapangan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Adapun langkah-langkah juru dakwah (da’i) yang mesti dilakukan dalam dakwah transformatif sebagai berikut, yaitu 1) aspek materi; yakni  dari masalah ubudiah semata ke masalah sosial, 2) aspek metodologi, yakni dari dakwah monolog ke dialog, 3) aspek kelembagaan dakwah; yakni dari dakwah personal ke kolektif, dan 4) aspek advokasi; yakni dari pembelaan dan keberpihakan pada kaum mustakbiran ke kaum mustadafin.

Referensi

Al-Attas Muhamad Nuqaib. 2011. Islam dan Sukulerisme, Terj. Khalif Muamar dkk, Bandung: Pimpin.
Ahmad Gojin, 2014. Kumpulan Artikel: Tentang Epistimologi Islam dan Barat, Dakwah Transpormatif, Pendidikan Islam, Bandung: t.p.
Anwar Masy’ari. 1993. Butir-Butir Problematika Dakwah, Surabaya: Bina Ilmu.
Hadian Husaini. 2009. Indonesia Masa Depan, Perspektif Peradaban Islam, Jakarta: DDII.
_____________. 2005. Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Muhamad Ali Aziz. 2004. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana.
Munzier Suparta. 2003. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana.
M. Amien Rais, 1991. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta,  Bandung: Mizan.
Mukti A. Ali. 1993. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta: Rajawali Pers.
Thoha Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif.
Yusril Ihza Mahendra. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta:       Paramadina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar