Minggu, 03 Mei 2015

Pengembangan Kompetensi Dan Kepribadian Da’i Dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer



Pengembangan Kompetensi Dan Kepribadian Da’i Dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Ciamis)

Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja dan karya besar manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagian atas dasar ridha Allah SWT. Dengan demikian, baik secara teologis maupun sosiologis dakwah akan tetap ada selama umat manusia masih ada dan selama Islam masih menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah) bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan salah satu unsur dakwah.
Pengertian Kompetensi dan Kepribadian Da’i
Sebelum menguraikan tentang kompetensi dan kepribadian da’i, tidak ada salahnya kalau kita menjelaskan terlebihdahulu hal yang berikatan proses terjadinya dakwah itu sendiri. Dakwah akan terjadi apabila adanya unsur-unsur dakwah (arkan al-dakwah). Karena tanpa adanya arkan dakwah ini proses dakwah tidak akan terjadi. Adapun arkan dakwah tersebut adalah (1) Da’i, yaitu subjek atau pelaku dakwah. (2) Mawdhu atau pesan Ilahiyah disebut: Jalan Tuhanmu (sabili rabbik), Din al-Islam, jalan yang lurus dan meluruskan (al-sirath al-mustaqim), agama yang ajeg dan bernilai guna (din al-qayim), agama yang coocok dengan naluri ketuhanan) (din al-fitri), dan sebutan lainnya; (3) Uslub (metode) yang antara lain dengan kajian ilmiah dan filosofis (bi al-hikmah), persuasif (bi mauizah al-hasanah), dialogis (bi al-mujadalah), pemberian kabar gembira (tabsyir), pemberian peringatan (inzar), menyuruh kebaikan (amar ma’ruf), melarang kemungkaran (nahi munkar), pemberian contoh yang baik (uswah hasanah) dan yang lainnya; (4) Washilah (media) yang terdiri atas: lingkungan keluarga (dawr usrah, lingkungan sekolah (dawr al-madrasah, surat (al-rasail), hadiah (targhib), sangsi (al-tanbih), cerita (al-qishah), sumpah (al-qasm), simulasi (al-mitsal), kekuasaan (al-quwwah), tulisan ( al-kitabah),  ucapan (bi qawl), perilaku (bi amal), percontohan (bi al-sairah al-hasanah),  (5) Objek dakwah (mad’u), terdiri dari manusia atas berbagai karekteristiknya, seperti jika dilihat dari aspek kuantitasnya diri da’i sendiri, mad’u seorang, kelompok kecil, kelompok terorganisir, orang banyak, dan orang dalam kelompok tertentu. Maka dalam tulisan ini lebih ditekakkan pada unsure-unsur dakwah yang pertama, yaitu pelaku dakwah (da’i atau juru dakwah) yang memiliki kempetensi dan kepribadiannya.
Secara umum kaitannya dengan kompetensi da’i memiliki dua kreteria yang penting, yaitu:
 pertama, kompetensi personal (kompetensi primer), yakni penguasaan teori dakwah, misalnya ilmu dakwah dan manajemen dakwah. Selain itu, juga harus memiliki kemampuan dan penguasan materi (ilmu keislaman dan ilmu umum yang luas), metode yang tepat, dan media efektif.  Kedua, kompetensi penunjang (kompetensi sekunder), yakni memiliki kemampuan dan penguasaan retorika yang baik, dan kemampuan dalam rekayasa social. Intinya bagi seorang da’i, baik individu maupun kelompok (organisasi) memiliki kempetensi teoritis dan praktis dalam melaksanakan dakwahnya.
Secara umum, yang berhubungan dengan kepribadian da’i, ialah memiliki kreteria-kreteria sebagai berikut: Pertama, da’i  harus mempunyai prilaku yang baik, serta ikhlas dalam beramal (sepi ing pamrih rame ing gawe),  baik materiil maupun popularitas. Akan tetapi berdakwah (mengajak) itu mesti ditunjang dengan penuh harapan kepada Allah.  Apa yang ada dalam hati itu akan bersambung pula kepada hati (dari hati ke hati). Seorang da’i itu harus mempunyai keyakinan bahwa dakwah itu adalah tuntunan dan kewajiban, bukan untuk mencari pujian orang, popularitas ataupun untuk mendapatkan jabatan.
Kedua, da’i harus mampu menjelaskan dan mengetahui retorika. Tidaklah harus disyaratkan seorang orator ulung, tetapi cukuplah da’i itu mengetahui bagamana tatacara mengajak manusia untuk disentuh hatinya (kalbunya) atau seseuatu yang dapat melunakan hatinya. Ali Bin Abi Thalib R.A. mengatakan :
            Sesungguhnya hati itu mempunyai hawa nafsu (amarah) serta mempunyai kelunakan dan kejernihan berpikir, maka datangilah hati itu dengan orang dapat menerima hawa nafsunya atau dengan orang yang dapat menjernihkan berpikir lubuk hati itu, karena hati itu jika ditekan dan dipaksa maka ia akan buta.
            Ketiga, da’i harus mempunyai kepribadian yang positif, bermoral, berakhlak (etika) yang sempurna. Dia harus mampu berbicara dan diam pada tempatnya., sehingga diamnya menjadi keputusan hukum atau menjadi suatu kebijaksanaan. Keempat, da’i hendaknya luwes (ringan badan) siap membantu dalam pergaulan, berani menghadapi persoalan, dan tidak mengadakan stratifikasi sosial. Dia harus berpendirian bahwa dirinya itu bagian integral dari mereka. Dia mampu bersikap,  berdiri sama tinggi,  duduk sama rendah bersama mereka.                                                                       Kelima, da’i itu wajib mengetahui Al-Qur’an dan Sunah, psikologi, kultur objek dakwah (mad’u), dan mengetahui media yang akan digunakannya. Jika memang adat itu adalah adat yang buruk, dia harus mampu mengubahnya dengan luwes tanpa memprotesnya sebelum menjinakan mereka menuju kepada kebenaran (Islam). Keenam, tidak membuat komplik, menghina, dan melecehkan objek dakwah. Ketujuh, menjauhkan diri dari perkara subhat, karena hal tersebut berpengaruh terhadap melemahnya wibawa,  perkataan dan secara khusus akan merusak dakwah itu sendiri. Jika dakwah itu rusak, maka rusak pula respon dari objek dakwah. Jika sifat-sifat tersebut dimiliki oleh seorang da’i maka ia dapat diakatan da’i yang paripurna. Kurang tepat kalau keberhasilan dakwah hanya diukur dari banyaknya jamaah yang hadir pada suatu kegiatan keagamaan. Banyaknya jamaah yang hadir hanyalah salah satu indikkator saja.  Keberhasilan dakwah dapat diukur dari munculnya kesadaran keagamaan pada                                                                                                                                                                  masyarakat (komunikan) akibat adanya dakwah, baik kesadaran yang berupa keyakinan, sikap dan  tingkah laku objek dakwah. Dan untuk menciptakan kesadaran keagamaan pada masyarakat (komunikan) tidaklah mudah, karena kesadaran adalah kondisi dimana seseorang mempunyai dorongan kemamuan untuk melakukan sesuatu yang tumbuh dari dirinya sendiri tanpa harus adanya ransangan (stimulus) yang terus-menerus.  Ada atau tidak adanya stimulus tetap ia melakukan sesuatu yang telah disadari bahwa sesuatu itu memang harus dilakukan.
Secara garis besarnya bahwa kompetensi da’i meliputi kompetensi personal (kompetensi sekunder), yaitu penguasaan ilmu dakwah, manajemen, materi, metode dan media sistematis dan  konprehensif.  Sedangkan yang berkaitan dengan  kompetensi penunjang, yaitu retorika,  ilmu rekayasa sosial dan lain-lain. Atau dengan lain kata bagi juru dakwah (da’i) harus memiliki dan menguasai pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.
Adapun yang berhubungan dengan kepribadian da’i secara garis besarnya meliputi: beriman dan bertaqwa kepada Allah, ikhlas dan jujur, berakhlak dan keteladanan yang baik (uswah hasanah), arif dan bijaksana, empati dan simpati, peduli dan toleran, dan yang lainnya. Intinya kepribadian da’i memiliki karakter yang khas, yaitu beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.


Referensi

Asmuni Syukir. 1983. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.
Aep Kusnawan. 2004. Ilmu Dakwah (Kajian dari Berbagai Aspek), Bandung: Bani Quraisy.
Anwar Masy’ari. 1993. Butir-Butir Problematika Dakwah, Surabaya: Bina Ilmu.
Ahmad Gojin, 2014. Kumpulan Artikel: Epistimologi Islam dan Barat, Dakwah Transpormatif, Pendidikan Islam, Bandung: t.p.
Enjang AS dan Aliyudin. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran.
Hamzah Yakub. 1992. Publisistik Islam, Bandung: Dipenogoro.
Munzier Suparta. 2003. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar