Pengembangan Kompetensi Dan Kepribadian Da’i Dalam Menghadapi
Tantangan Kontemporer
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Ciamis)
Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja dan karya besar
manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang dipersembahkan
untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan,
meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagian atas
dasar ridha Allah SWT. Dengan demikian, baik secara teologis maupun sosiologis
dakwah akan tetap ada selama umat manusia masih ada dan selama Islam masih
menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah)
bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan
konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual
dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa
serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan
masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan
derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan
bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau
proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai
pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa
tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam
bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan
salah satu unsur dakwah.
Pengertian Kompetensi
dan Kepribadian Da’i
Sebelum menguraikan tentang kompetensi dan kepribadian da’i, tidak
ada salahnya kalau kita menjelaskan terlebihdahulu hal yang berikatan proses
terjadinya dakwah itu sendiri. Dakwah akan terjadi apabila adanya unsur-unsur
dakwah (arkan al-dakwah). Karena tanpa adanya arkan dakwah ini proses
dakwah tidak akan terjadi. Adapun arkan dakwah tersebut adalah (1) Da’i, yaitu subjek atau pelaku dakwah. (2) Mawdhu
atau pesan Ilahiyah disebut: Jalan Tuhanmu (sabili rabbik), Din
al-Islam, jalan yang lurus dan meluruskan (al-sirath al-mustaqim), agama
yang ajeg dan bernilai guna (din al-qayim), agama yang coocok dengan
naluri ketuhanan) (din al-fitri), dan sebutan lainnya; (3) Uslub
(metode) yang antara lain dengan kajian ilmiah dan filosofis (bi al-hikmah),
persuasif (bi mauizah al-hasanah), dialogis (bi al-mujadalah),
pemberian kabar gembira (tabsyir), pemberian peringatan (inzar),
menyuruh kebaikan (amar ma’ruf), melarang kemungkaran (nahi munkar),
pemberian contoh yang baik (uswah hasanah) dan yang lainnya; (4) Washilah
(media) yang terdiri atas: lingkungan keluarga (dawr usrah, lingkungan
sekolah (dawr al-madrasah, surat (al-rasail), hadiah (targhib),
sangsi (al-tanbih), cerita (al-qishah), sumpah (al-qasm),
simulasi (al-mitsal), kekuasaan (al-quwwah), tulisan ( al-kitabah), ucapan (bi qawl), perilaku (bi amal),
percontohan (bi al-sairah al-hasanah), (5) Objek dakwah (mad’u), terdiri dari
manusia atas berbagai karekteristiknya, seperti jika dilihat dari aspek
kuantitasnya diri da’i sendiri, mad’u seorang, kelompok kecil, kelompok
terorganisir, orang banyak, dan orang dalam kelompok tertentu. Maka dalam tulisan ini lebih ditekakkan pada
unsure-unsur dakwah yang pertama, yaitu pelaku dakwah (da’i atau juru dakwah)
yang memiliki kempetensi dan kepribadiannya.
Secara umum kaitannya dengan kompetensi da’i memiliki
dua kreteria yang penting, yaitu:
pertama, kompetensi personal (kompetensi primer),
yakni penguasaan teori dakwah, misalnya ilmu dakwah dan manajemen dakwah. Selain itu, juga harus memiliki kemampuan dan penguasan materi
(ilmu keislaman dan ilmu umum yang luas), metode yang tepat, dan media efektif. Kedua, kompetensi
penunjang (kompetensi sekunder), yakni memiliki kemampuan
dan penguasaan retorika yang baik, dan kemampuan dalam rekayasa social. Intinya
bagi seorang da’i, baik individu maupun kelompok (organisasi) memiliki
kempetensi teoritis dan praktis dalam melaksanakan dakwahnya.
Secara umum, yang berhubungan dengan kepribadian da’i, ialah memiliki
kreteria-kreteria sebagai berikut: Pertama, da’i
harus mempunyai prilaku yang baik, serta
ikhlas dalam beramal (sepi ing pamrih rame ing gawe), baik
materiil maupun popularitas. Akan tetapi berdakwah (mengajak) itu mesti
ditunjang dengan penuh harapan kepada Allah. Apa yang ada dalam hati itu akan bersambung pula kepada hati (dari
hati ke hati). Seorang da’i itu harus mempunyai keyakinan bahwa dakwah itu
adalah tuntunan dan kewajiban, bukan untuk mencari pujian orang, popularitas
ataupun untuk mendapatkan jabatan.
Kedua, da’i harus mampu menjelaskan dan mengetahui
retorika. Tidaklah harus disyaratkan seorang orator ulung, tetapi
cukuplah da’i itu mengetahui bagamana tatacara mengajak manusia untuk disentuh
hatinya (kalbunya) atau seseuatu yang dapat melunakan hatinya. Ali Bin Abi
Thalib R.A. mengatakan :
“Sesungguhnya hati itu mempunyai hawa nafsu (amarah)
serta mempunyai kelunakan dan kejernihan berpikir, maka datangilah hati itu
dengan orang dapat menerima hawa nafsunya atau dengan orang yang dapat
menjernihkan berpikir lubuk hati itu, karena hati itu jika ditekan dan dipaksa
maka ia akan buta”.
Ketiga, da’i harus mempunyai kepribadian yang
positif, bermoral, berakhlak (etika) yang sempurna. Dia harus mampu berbicara dan
diam pada tempatnya., sehingga diamnya menjadi keputusan hukum atau menjadi
suatu kebijaksanaan. Keempat, da’i
hendaknya luwes (ringan badan) siap membantu dalam pergaulan, berani menghadapi
persoalan, dan tidak mengadakan stratifikasi sosial. Dia harus berpendirian
bahwa dirinya itu bagian integral dari mereka. Dia mampu bersikap, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah bersama mereka. Kelima,
da’i itu wajib mengetahui Al-Qur’an dan Sunah, psikologi, kultur objek dakwah
(mad’u), dan mengetahui media yang akan digunakannya. Jika memang adat itu
adalah adat yang buruk, dia harus mampu mengubahnya dengan luwes tanpa
memprotesnya sebelum menjinakan mereka menuju kepada kebenaran (Islam). Keenam, tidak membuat komplik, menghina,
dan melecehkan objek dakwah. Ketujuh, menjauhkan diri dari perkara subhat, karena hal tersebut berpengaruh terhadap melemahnya wibawa, perkataan dan secara khusus akan merusak dakwah itu sendiri. Jika dakwah itu
rusak, maka rusak pula respon dari objek dakwah. Jika sifat-sifat tersebut dimiliki
oleh seorang da’i maka
ia dapat diakatan da’i yang paripurna. Kurang tepat kalau keberhasilan dakwah
hanya diukur dari banyaknya jamaah yang hadir pada suatu kegiatan keagamaan.
Banyaknya jamaah yang hadir hanyalah salah satu indikkator saja. Keberhasilan dakwah dapat diukur dari munculnya kesadaran
keagamaan pada
masyarakat
(komunikan) akibat adanya dakwah, baik kesadaran yang berupa keyakinan, sikap dan tingkah laku
objek dakwah. Dan untuk menciptakan kesadaran keagamaan pada masyarakat (komunikan) tidaklah
mudah, karena kesadaran adalah kondisi dimana seseorang mempunyai dorongan
kemamuan untuk melakukan sesuatu yang tumbuh dari dirinya sendiri tanpa harus
adanya ransangan (stimulus) yang terus-menerus. Ada
atau tidak adanya stimulus tetap ia melakukan sesuatu yang telah disadari bahwa
sesuatu itu memang harus dilakukan.
Secara
garis besarnya bahwa
kompetensi da’i meliputi kompetensi personal (kompetensi sekunder), yaitu penguasaan ilmu dakwah, manajemen, materi, metode dan media sistematis
dan konprehensif. Sedangkan yang berkaitan dengan kompetensi penunjang, yaitu retorika, ilmu rekayasa sosial dan lain-lain. Atau
dengan lain kata bagi juru dakwah (da’i) harus memiliki dan menguasai pengetahuan
teoritis dan pengetahuan praktis.
Adapun yang
berhubungan dengan kepribadian da’i secara garis besarnya meliputi: beriman dan
bertaqwa kepada Allah, ikhlas dan jujur, berakhlak dan keteladanan yang baik (uswah
hasanah), arif dan bijaksana, empati dan simpati, peduli dan toleran,
dan yang lainnya. Intinya kepribadian da’i memiliki karakter yang khas, yaitu
beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Referensi
Asmuni Syukir. 1983. Dasar-Dasar Strategi
Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.
Aep Kusnawan. 2004. Ilmu Dakwah (Kajian dari Berbagai Aspek),
Bandung: Bani Quraisy.
Anwar Masy’ari. 1993. Butir-Butir Problematika Dakwah,
Surabaya: Bina Ilmu.
Ahmad Gojin, 2014. Kumpulan Artikel: Epistimologi Islam dan
Barat, Dakwah Transpormatif, Pendidikan Islam, Bandung: t.p.
Enjang AS dan Aliyudin. 2009. Dasar-Dasar
Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran.
Hamzah Yakub. 1992. Publisistik
Islam, Bandung: Dipenogoro.
Munzier Suparta. 2003. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar