Rabu, 13 Mei 2015

Dakwah Nafsiyah: Membangun Keshalehan Diri Sendiri



Dakwah Nafsiyah: Membangun Keshalehan Diri Sendiri
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Hai Orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telahnya untuk hari esok (akhirat….(QS. Al-Hasyr (59): 18).
Islam adalah agama dakwah, yaitu dalam ajarannya memerintahkan umatnya untuk mengajak keberbagai lini kehidupan manusia, supaya mereka beriman, bertaqwa, serta beramal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Artinya dakwah ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua umat Islam yang sudah mukallaf, laki-laki dan perempuan, sendiri dan kelompok, ulama dan intelek, aktivis dan politisi hartawan dan dermawan, dimanapun dan kapanpun sesuai dengan kapasitas, kemampuan dan kompetensinya masing-masing. Ulama dan intelek  berdakwah dengan ilmu dan pemikirannya. Aktivis, politisi, dan pemerintah berdakwah dengan jabatanya. Hartawan dan dermawan berdakwah dengan hartanya. Karena dakwah dilakukan untuk membangun manusia, baik dirinya sendiri, kelompok dan jamaah agar menjadi hamba Allah yang Shaleh dan bertaqwa kepadanya.
Konsep Dakwah Nafsiyah
Dakwah Nafsiyah (dakwah intrapersonal) adalah dakwah yang da’i (subjek) dan mad’u (objek) dakwah ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya tetap berada dijalan yang diridha Allah. Tujuan dari dakwah nafsiyah adalah mewujudkan pribadi seseorang senantiasa menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dan keimanan dan ketaqwannya itu diaktualisasikan dalam segenap aspek kehidupannya. Dakwah nafsiyah ini pada implementasinya dilakukan melalui ibadah vertikal dan ibadah horizontal.
Konsep Nafsiyah (pribadi) Sebagai Manusia
Sebelum menjelaskan tentang metode dakwah nafsiyah, penulis mencoba menyinggung terlebih dahulu tentang manusia menurut pandangan Islam.
Dalam pandangan Islam, manusia, baik sebagai pribadi (dirinya sendiri) maupun sosial adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi  karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan. Dan kitab Suci al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam.
Hakekat penciptaan manusia dalam perspektif Islam dengan merujuk pada nash Alquran, selalu bertitik tolak pada term khalaqa (menciptakan) dan atau ja’ala (menjadikan). Dimana Allah lah sebagai maha pencipta dan yang menjadikan manusia ada di muka bumi ini. Kedua term ini, mengimformasikan bahwa manusia itu tercipta atas dua unsur yakni materi dan immateri.
Kedua unsur yang disebutkan di atas, dapat tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan. Dengan demikian, manusia dapat disebut sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo education (makhluk pendidik). Dari paradigma ini, menyebabkan ke-eksistensian manusia secara fitrawi disebut sebagai makhluk pedagogik, yakni makhluk Tuhan yang sejak diciptakannya telah membawa potensi untuk dapat didik dan dapat mendidik. Hal ini jelas, manusia sejak kecil dirawat oleh orangtuanya, sebagai manusia yang lemah. Ia diajarkan berbagai macam hal yang ia butuhkan untuk bertahan hidup, bertahap (step by step) bayi yg semula hanya bisa melakukan aktivitas dalam gendongan ibu akhirnya mampu melaksanakan kegiatannya dengan tumpuan kakinya sendiri untuk berjalan.
          Sementara itu,  dalam menentukan struktur kepribadian diri manusia tidak dapat terlepas dari masalah substansi manusia itu sendiri, sebab masalah substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia yang hidup terdiri atas dua bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing kedua aspek ini pada prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Jasmani tanpa ruhani merupakan substansi yang mati, alias bangkai, sedang ruhani tanpa jasmani tidak dapat teraktualisasi dan terwujudkan. Karena saling melengkapi dan membutuhkan keduanya maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri tersebut, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Dan nafs yang berwujud manusia secara pribadi disebut nafsiyah (diri sendiri).

Metode Dakwah Nafsiyah
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa subtansi manusia yang hidup terdiri atas dua bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing kedua aspek ini pada prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara (metode) manusia (sebagai dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan ruhaninya tersebut secara baik dan konsisten dalam rangka meraih kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun cara (metode) dakwah nafsiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, unsur jasmani, yakni wujud dari komponen material atau fisikal diri seseorang. Menurut Imam al-Ghazali bahwa komponen jasmani ini dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Maka jasmani ini harus diisi dengan hal-hal yang bersifat material, seperti mengkonsumsi makanan yang bergizi, minum yang menyehatkan, olah raga, istirahat yang cukup, bekerja mencari nafkah dan lain-lain.
            Kedua, unsur ruhani, yakni jisim nurani yang tinggi, hidup dan bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Maka ruhani ini harus diisi dengan hal-hal yang bersifat non material, seperti shalat (wajib dan sunah), berzikir, berdoa, berpuasa (wajib dan sunah), zakat, infaq dan sadaqah dan bentuk ibadah lainnya.
Dari uraian diatas, dapat diambil benang merahnya, bahwa dakwah nafsiyah adalah dakwah yang da’i (subjek) dan mad’unya (objek) ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya seluruh aspek kehidupnya tetap berada dijalan yang diridha Allah, sehingga dirinya dapat mencapai kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat nanti.
Adapun cara (metode) yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) unsur jasmani, misalnya makan yang bergizi, olahraga dan lain-lain; 2) unsur ruhani, misalnya shalat, berzikir, berdoa dan lain-lain. Wa-Allahu ‘Alam.  

1 komentar: