Selasa, 08 Maret 2016

Sang Juru Damai



“Sang Juru Damai” Non Sektarian
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua Tanfidz MWC NU Kec. Cibiru Kota Bandung dan Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)

Sehari menjelang perayaan hari Pahlawan 10 November 2006,  tepatnya hari Kamis 9 November 2006, salah satu dari dua orang putra terbaik bangsa dari Jawa Barat mendapat penghormatan dan dikukuhkan oleh presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri sebagai pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana, Dia adalah KH Noer Ali dari Bekasi. Bahkan sosok beliau ini dijadikan sebuah film yang berjudul “Singa Kerawang-Bekasi”.
Mungkin, bagi warga Jawa Barat khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umunya tidak banyak yang tahu dengan sosok KH Noer Ali. Maka penulis akan mencoba sekilas mendeskripsikan sosok ulama dan pahlawan nasional dari Jawa Barat ini.
Kalau Anda warga hendak bepergian ke Jakarta tentu sering sekali melewati jalan dikenal dengan Kalimalang. Itulah jalan Kyai besar Noer Ali. Siapakah dia? Noer Ali berdarah betawi meski lahir di Bekasi. Dia dikenal ulama sekaligus guru namun saat Indonesia dijajah sekutu dia ikut perang angkat senjata sebab menurutnya cinta tanah air sebagian dari iman". Khabarnya belum berumur lima tahun, Noer Ali sudah menghafal Alquran. Berbekal ilmu agama, serta cintanya pada Indonesia, negara mengukuhkannya sebagai pahlawan karena keberaniannya melawan penjajah.
Pada masa penjajahan Belanda di daerah Jawa Timur kita kenal dengan Komandan resimen BKR, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, komandan batalyonnya KH. Yusuf Hasyim Di Jawa Tengah komandan resimennya Kasman Singodimedjo. Di Jawa Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Karanwang-Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang tidak bergelar “Kiyai Hadji” saat itu.
KH Noer Ali lahir pada tanggal 15 Juli 1914 di sebuah kampung Ujungmalang (saat itu, sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Maimunah binti Tarbin. Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia ?”. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Setelah enam tahun belajar di Mekah dan kembali ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren At-Taqwa di Ujungmalang (Bekasi). Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang  melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung kekampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Bahkan konon kabarnya beliua ini memiliki “karamah dan sakti”. Sehingga untuk memperkuat mental anak buahnya melalui pengamalan tarekatnya ini ia tidak mempan ditembus peluru, sehingga Penjajah Belanda pun kesulitan menangkap KH. Noer Ali , sering menghilang dan tidak dapat dilihat oleh mata awam hingga masyarakat pun memberi sebutan beliau sebagai ”belut Putih” yang sangan licin. Melaui wirid-wirid yang harus diamalkan. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Pada Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.
Pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Dan pada lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dantahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai “juru damai”, tidak memihak pada salah satu aliran, mazhab dan ormas Islam manapun saat itu. Tokoh Muhammadiyah, NU, maupun Persis dan lain-lain, beliau rangkul dan diajak bekerjasama, dalam rangka membangun ukhuwah (persaudaraan) bahkan beliau juga melindungi warga Cina tionghio di tanah air. Dan Pada masa penjajahan Jepang, ia pernah mengangkat salah seorang warga Cina menjadi Kepala Sekolah. 
Beliau tutup usia pada tanggal 3 Mei 1992. Masyarakat dan bangsa ini merasa sangat kehilangan sosok ulama dan pejuang yang telah banyak berjasa bagi negara. Maka tahun 2006 Pemerintah memberikan gelar pahlawan Nasional Kepada KH. Noer Ali dan Namanya pun di abadikan menjadi nama jalan KH. Noer Ali di kalimalang bekasi. Kini Pondok pesantrennyapun berkembang dengan Pesat.
Dari uraian di atas, dapat diambil intisasrinya bahwa sosok KH Noer Ali, sebagai pejuang dan Ulama non sektarian patut kita jadikan teladan bagi kita semua. Karena saat ini dan di masa yang akan datang bangsa ini sangat membutuh seorang figur seperti beliau. Semoga, “Noer Ali-Noer Ali baru” bermunculan ditanah air ini. Wa Allahu ‘Alam.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar