Dakwah
Beradab dan Bermartabat
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua
Tanfidz MWC NU Kec. Cibiru Kota
Bandung dan Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)
Pada pertengahan November 2015 lalu, serorang mubaligh terkenal
memberikan ceramah di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Mubaligh tersebut
dilaporkan telah mempelesetkan ungkapan salam sampurasun, menjadi campur
racun. Padahal ungkapan tersebut menurut sebagian komunitas masyarakat di
tanah air ini memiliki makna do’a dan penghormatan. Sehingga ungkapan
dan plesetan yang dialakukan mubaligh itu, oleh komunitas masyarakat tersebut, dianggap
sebagai penghinaan dan pelecehan. Walaupun pada akhirnya, konon
khabarnya seorang mubaligh tersebut meminta maaf kepada mereka yang
tersinggung.
Berangkat dari kasus di atas, maka implementasi dakwah secara sepintas
sepertinya tampak begitu mudah dan ringan, apalagi kalau hanya sekadar berbicara
untuk menyampaikan pesan dakwah saja, apalagi asal bicara mungkin banyak
orang yang mampu melakukannya. Namun kemampuan berbicara saja belumlah cukup.
Sebab penyampaian dakwah kalau hanya seperti itu, secara psikologis berpotensi
dapat menyinggung perasaan, norma-norma, budaya dan nilai-nilai yang pegang
oleh masyarakat beragama tertentu sebagai objek dakwah.
Dakwah Beradab
dan Bermartabat
Kamus Besar Bahasa Indodonesia, kata beradab berarti: mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang
baik, berperilaku sopan. Atau dengan kata lain berarti telah maju
tingkat kehidupan lahir batinnya. Sedangkan arti bermartabat
bermakna: bergengsi, berkelas, berpamor, berstatus,
prestisius dan terhormat.
Dengan demikian, dakwah beradab dan bermartabat dapat diartikan sebagai aktivitas
mengajak atau menyeru kepada segenap masyarakat (objek dakwah), baik terhadap
umat Islam mapun non muslim budi bahasa yang baik, sopan-santun, berkelas dan terhormat.
Islam
adalah agama dakwah yang berisi tentang petunjuk-petunjuk agar manusia secara
individu maupun sosial menjadi manusia yang baik, beradab, berkualitas baik lahir
mapun batin. Sehingga mampu membangun sebuah peradaban yang maju (progresif)
serta tatanan kehidupan yang adil dan sejehtera, yakni tatanan kehidupan yang
manusiawi (humanis), menghargai dan menghormati sesama umat manusia.
Selain itu, dakwah juga merupakan kewajiban segenap individu umat Islam.
Pada satu sisi dakwah
merupakan kewajiban segenap individu umat Islam sesuai kemampuanya
masing-masing, namun di sisi lain, dakwah tidak akan terrealisasikan dengan
baik apabila tidak memperhatikan komponen-komponen dakwah itu sendiri. Adapun komponen-komponen
dakwah tersebut ialah da`i,(juru dakwah), madu` (objek
dakwah), maudhu` (pesan/materi dakwah), manhaj (metode dakwah) dan wasilah (media dakwah). Semua komponen
tersebut saling keterkaitan satu sama lain secara sistematis. Sesuai dengan
topik dalam tulisan ini, maka dari kelima komponen dakwah tersebut hanya tiga
hal saja, yaitu masalah da’i, pesan, dan metode.
Pertama, Da’i (Juru dakwah). Setiap da’i, siapa, kapan, dan dimana pun, dalam aktivitas
dakwahnya harus memperhatikan dan memahami, budaya, norma-norma, dan
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai objek dakwahnya. Selain
itu, da’i juga mesti memiliki kecerdasan dan kepekaan “nurani”,
kepribadian yang baik, integritas yang tinggi dan bermoral (akhlak yang mulia),
seperti ilmu pengetahuan yang luas, jujur, sopan-santun, humanis dan dipercaya
(al-amin).
Kedua, Maudhu’ (pesan dakwah). Pesan
(materi) dakwah yang disampaikan oleh setiap da’i mesti dapat menyejukan hati
objek dakwahnya. Dengan kata lain, setiap isi pesan dakwah yang disampainya
tidak menghina, melecehkan dan menyinggung perasaan masyarakat tertentu. Karena
kalau ini yang dilakukannya maka akan mengundang reaksi yang negatif dari objek
dakwahnya, seperti yang terjadi pada kasus di atas.
Ketiga, Manhaj (metode dakwah). Setiap dai
ketika akan menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat dapat menggunakan cara
yang beragam sesuai dengan situasi dan kondisi objek dakwahnya, seperti
ceramah, Tanya jawab, dialog dan lain-lain. Menurut penulis, dari sekian banyak
metode dakwah yang dapat digunakan pada saat ini yang pantas dan bijak adalah
metode dialog. Ketika terjadi proses dialog antara dua kutub (da’i dan
objeknya) dengan mudah dapat teridentifikasi berbagai masalah yang sebenarnya,
maka solusi (jalan keluar) untuk memecahkan masalahnya pun diselesai secara
bersama-sama juga. Selain itu, tidak kalah pentingnya, dalam proses dialog ini
mesti dilandasi oleh rasa cinta-kasih, penuh keakraban, penuh harapan,
kepercayaan, dan sikap kritis dari kedua belah pihak.
Dengan demikian, dapat ditarik
benang merahnya bahwa dakwah
merupakan kewajiban segenap individu umat Islam sesuai kemampuanya
masing-masing. Namun dalam implementasinya, bagi para juru dakwah kapan dan
dimana pun ketika dalam dakwahnya dengan cara-cara memahami dan memperhatikan
dengan cermat situasi dan kondisi masyarakatnya, baik budaya, norma-norma, dan
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh mereka. Semoga kasus yang serupa seperti
diatas tidak terulang lagi. Wa-Allahu ‘Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar