Senin, 14 Desember 2015

Dakwah Beradab dan Bermartabat



Dakwah Beradab dan Bermartabat
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Ketua Tanfidz MWC NU Kec. Cibiru Kota Bandung dan Dosen STID Sirnarasa Ciamis-Jabar)

Pada pertengahan November 2015 lalu, serorang mubaligh terkenal memberikan ceramah di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Mubaligh tersebut dilaporkan telah mempelesetkan ungkapan salam sampurasun, menjadi campur racun. Padahal ungkapan tersebut menurut sebagian komunitas masyarakat di tanah air ini memiliki makna do’a dan penghormatan. Sehingga ungkapan dan plesetan yang dialakukan mubaligh itu, oleh komunitas masyarakat tersebut, dianggap sebagai penghinaan dan pelecehan. Walaupun pada akhirnya, konon khabarnya seorang mubaligh tersebut meminta maaf kepada mereka yang tersinggung.
Berangkat dari kasus di atas, maka implementasi dakwah secara sepintas sepertinya tampak begitu mudah dan ringan, apalagi kalau hanya sekadar berbicara untuk menyampaikan pesan dakwah saja, apalagi asal bicara mungkin banyak orang yang mampu melakukannya. Namun kemampuan berbicara saja belumlah cukup. Sebab penyampaian dakwah kalau hanya seperti itu, secara psikologis berpotensi dapat menyinggung perasaan, norma-norma, budaya dan nilai-nilai yang pegang oleh masyarakat beragama tertentu sebagai objek dakwah.
Dakwah Beradab dan Bermartabat
Kamus Besar Bahasa Indodonesia, kata beradab berarti: mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, berperilaku sopan. Atau dengan kata lain berarti telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Sedangkan arti bermartabat bermakna: bergengsi, berkelas, berpamor, berstatus, prestisius dan terhormat.
Dengan demikian, dakwah beradab dan bermartabat dapat diartikan sebagai aktivitas mengajak atau menyeru kepada segenap masyarakat (objek dakwah), baik terhadap umat Islam mapun non muslim budi bahasa yang baik, sopan-santun, berkelas dan terhormat.
Islam adalah agama dakwah yang berisi tentang petunjuk-petunjuk agar manusia secara individu maupun sosial menjadi manusia yang baik, beradab, berkualitas baik lahir mapun batin. Sehingga mampu membangun sebuah peradaban yang maju (progresif) serta tatanan kehidupan yang adil dan sejehtera, yakni tatanan kehidupan yang manusiawi (humanis), menghargai dan menghormati sesama umat manusia. Selain itu, dakwah juga merupakan kewajiban segenap individu umat Islam.
Pada satu sisi dakwah merupakan kewajiban segenap individu umat Islam sesuai kemampuanya masing-masing, namun di sisi lain, dakwah tidak akan terrealisasikan dengan baik apabila tidak memperhatikan komponen-komponen dakwah itu sendiri. Adapun komponen-komponen dakwah  tersebut  ialah da`i,(juru dakwah), madu` (objek dakwah), maudhu` (pesan/materi dakwah), manhaj (metode dakwah)  dan wasilah (media dakwah). Semua komponen tersebut saling keterkaitan satu sama lain secara sistematis. Sesuai dengan topik dalam tulisan ini, maka dari kelima komponen dakwah tersebut hanya tiga hal saja, yaitu masalah da’i, pesan, dan metode.
Pertama, Da’i (Juru dakwah). Setiap da’i, siapa,  kapan, dan dimana pun, dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan dan memahami, budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai objek dakwahnya. Selain itu, da’i juga mesti memiliki kecerdasan dan kepekaan “nurani”, kepribadian yang baik, integritas yang tinggi dan bermoral (akhlak yang mulia), seperti ilmu pengetahuan yang luas, jujur, sopan-santun, humanis dan dipercaya (al-amin).
Kedua, Maudhu’ (pesan dakwah). Pesan (materi) dakwah yang disampaikan oleh setiap da’i mesti dapat menyejukan hati objek dakwahnya. Dengan kata lain, setiap isi pesan dakwah yang disampainya tidak menghina, melecehkan dan menyinggung perasaan masyarakat tertentu. Karena kalau ini yang dilakukannya maka akan mengundang reaksi yang negatif dari objek dakwahnya, seperti yang terjadi pada kasus di atas.
Ketiga, Manhaj (metode dakwah). Setiap dai ketika akan menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat dapat menggunakan cara yang beragam sesuai dengan situasi dan kondisi objek dakwahnya, seperti ceramah, Tanya jawab, dialog dan lain-lain. Menurut penulis, dari sekian banyak metode dakwah yang dapat digunakan pada saat ini yang pantas dan bijak adalah metode dialog. Ketika terjadi proses dialog antara dua kutub (da’i dan objeknya) dengan mudah dapat teridentifikasi berbagai masalah yang sebenarnya, maka solusi (jalan keluar) untuk memecahkan masalahnya pun diselesai secara bersama-sama juga. Selain itu, tidak kalah pentingnya, dalam proses dialog ini mesti dilandasi oleh rasa cinta-kasih, penuh keakraban, penuh harapan, kepercayaan, dan sikap kritis dari kedua belah pihak.
Dengan demikian,  dapat ditarik benang merahnya bahwa dakwah merupakan kewajiban segenap individu umat Islam sesuai kemampuanya masing-masing. Namun dalam implementasinya, bagi para juru dakwah kapan dan dimana pun ketika dalam dakwahnya dengan cara-cara memahami dan memperhatikan dengan cermat situasi dan kondisi masyarakatnya, baik budaya, norma-norma, dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh mereka. Semoga kasus yang serupa seperti diatas tidak terulang lagi. Wa-Allahu ‘Alam.




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar