Kualitas Mursyid Dalam Thariqah
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen
UIN Bandung Dan STID Sirnarasa Ciamis-Jawa Barat)
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia
benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan, maka orang
itu tidak akan pernah engkau dapatkan seorang mursyid (pemimpin) yang mampu
memberi petunjuk kepadanya.
(Al-Kahfi (18): 17)
Fungsi
dan kedudukan mursyid dalam thariqat
menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing
dan membina murid-muridnya baik lahir dan bathin, tapi juga senantisa
memelihara dan mencegah dirinya dari hal-hal yang dapat menyimpang dari
ajaran-ajaran Islam dan terjerumus kedalam maksiat, seperti berbuat dosa besar
atau dosa kecil. Selain itu ia juga, memimpin, membimbing dan membina
murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syara’ dan
melaksanakan amal-amal sunnah agar selalu mendekatkan (taqarub) diri
kepada Allah SWT guna mendapatkan ridla Allah SWT. Oleh sebab itu seorang
mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan
rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, seirama dan sejalan dalam
melaksanakan zikrullah (mengingat Allah) dan ibadat lainnya menuju ke
hadirat Allah SWT. Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi
persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah
seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya
dengan para wali Allah yang shaleh.
Term mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk
ism fa’il (Inggris, present participle) dari kata kerja arsyada
yursyidu yang secara bahasa (etimologi) berarti pembimbing, guru,
pemimpin, petunjuk jalan. Kata tersebut diambil dari kata rasyad,
artinya hal memperoleh petunjuk atau kebenaran atau dari kata rusyd
dan rasyada, berarti hal mengikuti jalan yang benar atau lurus.
Dengan demikian, makna mursyid adalah orang yang membimbing atau
menunjuki jalan yang lurus. Dan dalam al-Quran kata mursyid muncul
dalam konteks hidayah (petunjuk) yang diposisikan dengan kata dhalalah
(kesesatan), dan ditampilkan untuk menyipati seorang wali yang oleh Tuhan
dijadikan sebagai khalifah-Nya yang berfungsi sebagai seseorang untuk
memberikan petunjuk kepada manusia (lihat QS. Al-Kahfi (18): 17).
Sedangkan dalam konteks tasawuf atau tarekat kata mursyid
sering digunakan dengan istilah Syaikh yang diterjemahkan dengan guru.
Istilah mursyid secara khusus pada kalangan sufi dan ahli thareqat itu adalah orang
yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang
teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau
beramalan-amalan shaleh. Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid
untuk berjalan menuju Allah SWT dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru
itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijal-Allah,
dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan
as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik
oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar
umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan
mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah
yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu
bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian fungsi mursyid merupakan faktor
yang penting bagi murid (salik) untuk mengantarkannya menuju diterimanya
taubat dan dibebaskannya dari kelalaian kepada Allah SWT. Dan dalam perjalanannya
menuju Allah SWT, seorang murid wajib baginya menggunakan mursyid atau
pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata:
Orang
yang tidak mempunyai syeikh atau mursyid, maka syekh atau mursyidnya itu adalah
syetan.
Muhammad Amin al Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub fi
mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti
jalan menuju Allah (thariqah-Allah), ia harus bangkit dari kelalaian.
Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia
melakukan amal shaleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang
ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya.
Guru tersebut yang hidup semasa dengannya, yaitu seorang guru yang terus
meningkatkan dirinya pada kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun
hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta
mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada
Nabi SAW. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya
untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah SWT,
sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thariqat.
Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu.
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif bi-Allah,
seseorang harus mendapat tarbiah (pendidikan) dari guru yang selalu
mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam shiddiq
(benar). Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid yang
lain dan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak
dirinya, tapi kehendak gurunya. Oleh sebab itu, orang yang memunculkan dirinya
sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan bagi murid-muridnya.
Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami kesesatan. Hal ini berarti,
ia adalah mursyid palsu yang akan menjadi penghalang muridnya menuju
Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid tersebut.
Dari penjelasan di atas, seorang mursyid semestinya adalah
orang yang tergolong ulama, guru, syekh, dan pemimpin umat yang kamil
lagi mukammi, yakni memiliki
kepribadian yang bersih, arif terhadap ilmu dan berakhlak yang terpuji, serta mampu
menyempurnakan akhlak murid-muridnya kearah akhlak mahmudah. Seorang mursyid harus
memiliki keyakinan yang kokoh, menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah serta
rahmat bagi segenap murid-muridnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan
jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dan juga mampu
mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobati jasmani dan ruhani mereka. Selain
itu, ia juga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang
membelenggu, memiliki karamah dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya
seorang guru mursyid atau syaikh dalam thariqat memenuhi kemampuan-kemampuan
dan harapan di mata muridnya sebagai berikut:
a. Syaikh
al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thariqat yang iradahnya
(kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum Allah, sehingga pengaruh
dari syaikh tersebut bagi orang yang meminta petunjuk padanya menyerahkan jiwa
dan raganya secara total.
b. Syaikh
al Iqtida’, yaitu guru yang perilakunya dapat ditiru dan dicontoh oleh
murid-muridnya, demikian pula perkataan dan perbuatannya harus menjadi teladan
bagi mereka.
c. Syaikh
at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang
meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d. Syaikh
al Intisab, ialah guru yang selalu membimbing bagi umat, maka orang yang
meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam
hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta
rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
e. Syaikh
at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota
thariqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f. Syaikh
at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan tertentu bagi
salik pemula dari pengamal thariqat.
Adapun fungsi dan peranan guru yang kita kenal dalam
dunia pendidikan formal maupun non formal adalah sebagai transfer of
knowledge (mengisi pengetahuan) dan ia mengajarkan pada murid-muridnya ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pendidikan yang diajarkan mursyid
kepada muridnya adalah transfer of spiritual (mengisi ruhani), yakni
Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid itu sama dengan
fungsi guru dalam dunia pendidikan yaitu pemimpin, pembimbing dan pembina
murid-muridnya, namun ranahnya berbeda, dimana seorang mursyid ranah yang diisi
adalah ruhani yang sangat halus yang berpusat pada kalbu (hati), yang sifatnya
tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan terminologi ketentuan dan kreteria mursyid
di atas, maka tidak semua orang bisa
menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang sangat berat.
Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi sekurang-kurangnya
harus memiliki kriteria dan adab sebagai berikut:
a. Alim,
yakni ia seorang ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan) kepada
para muridnya dalam masalah tauhid, syariat, fiqih, dan akhlak serta membuang segala
prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b. Arif,
yakni bijasana, lapang dada serta memiliki kesucian hati, akhlak (etika), ketulusan
jiwa dan mengetahui penyakit dan mengetahui cara menyembuhkan murid-muridnya.
c. Rahmah,
yakni kasih sayang terhadap sesama muslim, terutama mereka yang menjadi
muridnya.
e. Amanah,
yakni selalu memegang teguh amanah gurunya dan disampaikan kepada murid-muridnya,
tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan
juga tidak menginginkan apa mereka miliki, kecuali ridha Allah.
Dengan demikian, kreteria serta syarat-syarat bagi seorang
mursyid sangat berat. Sehingga kalau seorang mursyid itu sendiri ditanya, apakah
kamu telah memenuhi kreteria dan syarat mursyid? Maka jawabnya pasti adalah sangat
berat untuk mengatakan ya, atau kalau mau jawaban yang singkat, ia akan
mengatakan tidak tahu. Karena sebenarnya bukan ia sendiri yang menilai
kualitas dirinya, kecuali Allah SWT dan umatnya. Begitulah beratnya kriteria
bagi seorang mursyid namun dia tentunya akan berusaha sekuat tenaga, sepenuh
jiwa dan hati melaksanakan tugas-tugasnya itu. Dia harus selalu siap perintah
Allah dan Rasul dan gurunya, yaitu mendawamkan dzikrullah kapan dan dimanapun
secara sungguh-sungguh. Jadi hanya Allah dan Umat yang dapat menilai terhadap
kualitas diri seorang mursyid.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar