Paradigma Dakwah Dalam Pendekatan Sufistik
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)
Pendahuluan
Al-Imam As-Syafi’i berkata: Aku hidup bersama dengan
orang-orang Sufi, maka Aku bisa mengambil manfaat dari mereka dalam tiga
Kalimat : Waktu adalah pedang, jika engkau tidak bisa memotongnya
(menggunakanya), maka dia yang akan memotongmu (menjadikan engkau celaka
dan rugi) Dirimu dan keinginan nafsumu, jika engkau tidak menyibukkanya dengan
sesuatu yang benar, maka dia akan menyibukkanmu dengan urusan yang bathil
K etidak beradan (kefaqiran) merupakan penjagaan dari Allah. (Imam Baiquni, dalam Kitab Manaqib al-Syafi’i).
K etidak beradan (kefaqiran) merupakan penjagaan dari Allah. (Imam Baiquni, dalam Kitab Manaqib al-Syafi’i).
Dakwah secara
etimologi dapat diartikan sebagai seruan,
ajakan, dan panggilan. Dapat pula diartikan mengajak, menyeru,
memanggil dengan lisan atau dengan perbuatan nyata. Atau dengan kata
lain, bahwa dakwah
adalah proses penyampaian pesan Islam dari seseorang (sebagai da’i) kepada orang lain (mad’u), baik secara individu
maupun secara kelompok. Penyampaian pesan tersebut dapat berupa
perintah untuk melakukan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya (amr ma’ruf nahy al-munkar).
Usaha dakwah hendaknya dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk
terbentuknya individu yang baik (khayr al-nafsi), keluarga yang bahagia (khayr
al-usrah) dan masyarakat yang terbaik (khayr al-ummah) dengan cara
taat menjalankan ajaran Islam melalui bahasa lisan, tulisan, perbuatan, maupun keteladanan.
Dakwah dalam implementasinya, merupakan kerja
dan karya besar manusia, baik secara personal maupun kelompok (organisasi) yang
dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya adalah kerja sadar dalam rangka
menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan
mencapai kebahagian atas dasar ridha Allah SWT. Dengan
demikian, baik secara teologis maupun sosiologis dakwah akan tetap ada selama
umat manusia masih ada dan selama Islam masih menjadi agama manusia.
Secara teologis, dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah)
bagi umat Islam. Kemudian secara sosiologis, kegiatan dakwah apapun bentuk dan
konteksnya akan selalu dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keshalehan individual
dan keshalehan sosial, yaitu mewujudkan pribadi yang ber iman dan bertaqwa
serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesamanya, mewujudkan tatanan
masyarakat marhamah dan damai yang dilandasi oleh kebenaran tauhid, persamaan
derajat, semangat persaudaraan, kesadaran akan arti penting kesejahteraan
bersama, dan penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya, dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau
proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai
pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab tanpa
tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia (muspra; dalam
bahasa Jawa). Apabila ditinjau dari pendekatan sistem, tujuan dakwah merupakan
salah satu unsur dakwah.
Memang bukan hal yang mudah untuk
menyusun strategi dan metode dakwah yang baik dan tepat sasaran dalam konteks
masyarakat seperti sekarang ini. Kesulitan itu telihat tatkala kita menghadapkan
pandangan ke depan secara langsung ketika berhadapan dengan hamparan tatanan
masyarakat informatif dan industrial dengan segala fenomena dan dampak yang
ditimbulkannya. Begitu rumitnya ketika kita akan memetakan arah perkembangan
masyarakat itu, sehingga kesulitan juga untuk menyiasatinya. Untuk mewujudkannya diperlukan metode dan strategi
dakwah secara serius.
Kemudian apa yang dapat kita lakukan
supaya Islam tetap dapat disebarluaskan di tengah- tengah globalisasi peradaban
yang serba industrial itu ? Ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
Kecenderungan peradaban global (millenium ke-3) bukanlah sesuatu yang harus
dihindari, melainkan dihadapi dengan penuh kearifan dan manusiawi. Iptek yang
terus berkembang harus menjadi media pengembangan religiusitas dan jalan
mendekatkan diri pada Allah. Pilihan iman dan Islam sebagai jalan hidup (way
of Life) harus bersedia dan berani berperan dalam dinamika sejarah yang
sering kali terjadi konplik dan kekeras (jasmani dan ruhani) masyarakat global
dan modern.
Masyarakat global saat ini juga
menampakkan ciri-ciri sebagai masyarakat fungsional, teknologis, saintifik,
terbuka, pemiskinan agama, dan masyarakat permisif.
Perlu disadari bahwa peradaban
global dan industrial merupakan tahapan sejarah abad ke-21 yang tak terelakkan.
Termasuk masyarakat Indonesia, tidak lama lagi akan memasuki mekanisme pasar
(perdagangan bebas) akan berada dalam pusaran peradaban tersebut. Peradaban
industrial disamping membawa kemajuan dan kemudahan hidup, juga menimbulkan
persoalan sosial dan budaya yang luas akibat ketidaksiapan mental dan fisik
sebagian manusia.
Harus pula disadari bahwa gerak
pembangunan dan peradaban demikian disebabkan karena tidak seluruhnya terekam
secara memadai dalam panduan cita-cita Islam. Pemikiran dan pembaharuan
pemikiran Islam jauh dari pengalaman industrial, sehingga sulit diketemukan
rujukan pemikiran Islam yang cukup berarti bagi penyelesaian berbagai persoalan
kemanusian didalamnya.
Disamping itu, proses dakwah Islam
perlu dilaksanakan secara tepat dan benar, untuk merangsang daya spiritual
sebagai pondasi peradaban industrial. Dakwah, baik secara individu maupun
kolektif (organisasi) harus dikembangkan sebagai wujud kebudayaan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan, dalam
mewujudkan kemanusiaan sejati. Dakwah juga harus dapat memberi arah peradaban
dan perubahan seluruh dimensi kehidupan manusia dan masyarakat secara
transformatif menuju kesejahteraan hidup duniawi yang Islami.
Proses dakwah juga perlu menaruh
perhatian terhadap berbagai persoalan yang dalam masyarakat global dan industrial.
Berbagai persoalan tersebut akan berkaitan dengan tumbuhnya kawasan perumahan
dan industri, perilaku dan tatanan sosial-budaya yang belum diketemukan
rujukannya dalam pemikiran klasik, munculnya kelompok kelas baru dalam
masyarakat (kelas menengah, generasi muda terdidik, profesional, politisi,
birokrat, intelektual dan lain-lain), masyarakat miskin (material dan spiritual),
masyarakat marjinal, penyimpangan sosial serta keagamaan, komunitas pekerja
buruh dan sebagainya.
Secara operasional proses dakwah
harus diarahkan pada pelayanan sosial bagi penyelesaian hidup masyarakat modern
sebagai wujud tanggung jawab atau komitmen kemanusiaan. Untuk itu diperlukan
perumusan dan penataan etos kerja, pengorganisasian dan strukturisasi dakwah secara
solid sehingga menempatkan kerjasama dengan berbagai elemen sebagai pengendalian
perubahan kearah kehidupan yang lebih manusiawi, sejahtera, dinamis, dan berkemajuan atas dasar
prinsip nilai-nilai ajaran Islam.
Profesionalitas
pelaku dakwah ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan secara maksimal bebagai
media komunikasi, baik elektronik maupun cetak, seperti televisi, radio,
internet, buku, majalah dan koran dan media sosial lainnya. Namun, sesuai
kecenderungan masyarakat global-industrial yang membelah keutuhan kemanusiaan
menjadi bagian-bagian yang rumit, sulit menentukan sosok mubaligh yang memiliki
kemampuan professional-generalistik. Karena itu pemanfaatan media di atas
memerlukan pembagian tugas, terprogram dan kerjasama secara terus menerus
sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat.
Miskin dan gersangngnya spiritual
masyarakat modern perlu diantisipasi melalui layanan dan konsultasi dakwah,
pengembangan hidup jamaah dan bimbingan pengkayaan spritual. Maka disinilah, pendekatan
etis dan tasawuf (sufistis) sangat mungkin dapat dipertimbangkan guna
memperkaya pengalaman ritual dan spiritual melalui pengembangan tradisi pikir
dan dzikir dalam pengertian luas.
Masyarakat lapisan bawah dan pekerja
kasar, seperti buruh, petani, nelayan tradisional dan sebagainnya akan semakin meluas
kearah kawasan industri. Maka juru dakwah (da’i) harus menaruh perhatian dan
terlibat aktif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Keterasingan sosial juga meluas
searah perkembangan kantong-kantong industri terlepas dari lingkungan di
masyarakat. Situasi demikian tidak hanya dialami oleh kaum marginal di
perkotaan, tetapi juga kelompok elit yang terlepas dari struktur besaran
masyarakat. Untuk kasus demikian perlu pengembangan semangat hidup berjamaah
yang tidak semata berdasar status dan profesi tetapi juga membangun semangat
kebersamaan, kerjasama dan tolong-menolong dalam arti luas. Keterasingan
demikian juga dapat dialami akibat keagamaan yang reduksi dalam bentuk perilaku
sempalan akibat ketidakmampuan mengintegrasikan ketentuan ajaran Islam anatara
yang bersifat ritual formal dengan tuntutan hidup masyarakat modern dan industrial.
Kondisi tersebut sering dihadapi generasi muda muslim berpendidikan. Untuk itu
perlu dikembangkan pemikiran dan wawasan keagamaan yang menempatkan iptek dan
kebudayaan sebagai jalan mendekati Tuhan di samping pemahaman substansi dan
pesan moral firman Allah.
Cara dakwah sekarang harus mengarah
pada penanganan masalah riil. Artinya bahwa kegiatan dakwah harus merupakan
usaha pemecahan atau penyelesaian masalah kehidupan umat dan masyarakat di
bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik dalam kerangka masyarakat modern.
Menurut
Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, . Nafaisu al-uluwiyyah fi al-masail
al-shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-masaail, tasawuf
adalah hijrahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak mulia. Seorang
sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan amal,
perkataan, niat dan perbuatan riya, baik dhahir maupun bathin.
Secara
umum, dakwah melalui pendekatan sufistik
bertujuan untuk membersihkan jiwa (batin ) manusia, yaitu sedekat
mungkin dengan Allah (taqarub ila
Allah), seperti zikir, zuhud, tazkiyatun nafsi (membersihkan
jiwa) dan Ma’rifat (terbukanya hijab ketuhan), dengan jalan proses
Takhalli, Tahalli dan berujung pada Tajalli. Tahapan maqam yang harus
dilalui para sufi pada umumnya terdiri tujuh maqam, yaitu maqam taubat, maqam wara, maqam
zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakal dan maqam
ridha.
Adapun
uraian maqam-maqam tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, taubat adalah merupakan
pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru
secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.
Kedua, Wara adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat (tarku syubhat) yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal
yang belum jelas haram dan halalnya. Wara itu ada dua tingkat, wara segi
lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah.
Dan wara batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Allah SWT.
Ketiga, zuhud yakni
upaya melatih dan menyucikan hati seseorang untuk melepas ikatan hati dengan
dunia.
Keempat, fakir di rumuskan dengan tidak punya apa-apa
dan juga tidak menginginkan apa-apa, kecuali keridhaa Allah.
Kelima, sabar, yakni memiliki kemapuan untuk menahan
segala ujian dan cobaan hidup karena mengharapkan keridhaan Allah.
Keenam, tawakal, yakni menyerahkan sepenuhnya segala
urusan kepada Allah, setelah berusaha semaksimal mungkin.
Ketujuh, ridha, yakni merespon dan merubah segala
ujian dan cobaan menjadi kesenangan dan kenikmatan hidup.
Dari uraian di atas, dapa diambil
benang merahnya, bahwa beredaan masyarakat modern-industri kehidupannya
penuh persaingan (kompetisi) hidup yang
menjurus pada persaingan yang tidak sehat, kesibukan aktivitas kerja dan karir,
yang mengarah pada lupa waktu, mengejar mencintai materi atau harta dunia yang
berlebihan (hubbub dunya), hidup nafsi-nafsi (individualisti) tidak
peduli orang lain dan yang lainnya. Sehingga dengan keberadaan seperti itu
membuat mereka lupa terhadap kebutuhan batiniyah (kebutuhan jiwa). Sehingga batiniyah mereka kering dan gersang
dari nilai-nilai spiritual. Maka batin dan jiwa mereka membutuhkan “siraman
spiritual”. Dan disinilah dakwah dengan pendekatan sufistik berpeluang dan berperan untuk mengisi batiniyah masyarakat
modern-induntri tersebut, dengan melalui berbagai maqam (stasiun) sebagai
berikut; pertama, maqam Taubat,
yakni selalu mengingat Allah kapan di
manapun, yang diwujudkan dengan mejalankan kewajiban terhadap ajaran agama
Islam. Kedua, maqam Wara, yakni selalu menjauhkan diri hal belum
jelas halal dan haranya (syubhat), yang diwujudkan dengan cara selektif
bertindak dan mengkonsumsi terhadap yang larang Allah, yaitu yang diharamkan. Ketiga,
maqam Zuhud, yakni upaya
melatih diri dan menyucikan hati untuk tidak terlalu cinta dan berlebihan dalam
urusan dunia (hubbub dunia), sehingga melupakan Allah. Keempat, maqam Fakir,
yakni segala aktivitas yang mereka kerjakan, tidak lain hanya mengharapkan
keridhaa Allah. Kelima, maqam Sabar, Yakni memiliki kemapuan untuk menahan segala
ujian dan cobaan hidup karena mengharapkan keridhaan Allah memiliki kemapuan untuk menahan segala ujian dan cobaan hidup demi
mengharapkan keridhaan Allah. Keenam, maqam Tawakal, yakni menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah, setelah
berusaha semaksimal mungkin
dan Ketujuh, maqam ridha, yakni merespon dan merubah segala
bentuk ujian dan cobaan menjadi kesenangan dan kenikmatan hidup. Dengan
demikian, masyarakat modern-industrial diharapkan batiniyahnya dapat
dikendalikan dan tidak lagi kering dan gersang dari nilai-nilai spiritual lupa diri, lupa daratan, dan bahkan tidak
lagi lupa kepada Sang Penciptanya, yaitu
Allah Subnahu Wa Ta’ala. Pada akhirnya, batin
dan jiwa mereka menjadi tenang, damai dan mendapatkan ridha Allah dalam menjalani
aktivitas hidup dan kehidupannya. Amin.
Wa-Allahu Alam.
Daftar Pustaka
Aziz Dahlan, Abdul. 2012. Teologi
Filsafat Tasawuf dalam Islam. Jakarta: Ushul Press.
Agus Salim, http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/05/tantangan-dakwah-dalam-masyarakat.html, di unduh taggal 29 Desember 2014, pukul 19.00 WIB.
Agus Salim, http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/05/tantangan-dakwah-dalam-masyarakat.html, di unduh taggal 29 Desember 2014, pukul 19.00 WIB.
Hussein
Nasr, Sayyed. 1985. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ma‟luf,
Louis. 1986. Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al- A’lam. Beirut: Dar Al
Masyriq.
Munir
Amin, Samsul . 2012. Ilmu Tasawuf .
Jakarta: Amzah,
Nasution,
Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Nata.
Abudin. 2004. Metodologi
Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Trimingham,
J. Spencer. 1973. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar