Kamis, 07 Mei 2015

Islam Dan Radikalisme



Islam Dan Radikalisme
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)


Term Islam dibedah dari dua aspek, yaitu aspek bahasa (etimologi) dan aspek istilah (terminologi). Dari segi bahasa, istilah Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang berarti selamat, sejahtera, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah SWT. disebut sebagai orang Muslim. Dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merahnya bahwa kata Islam dari segi bahasa mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah SWT. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah.
Adapun term Islam dari segi istilah, para ahli berbeda-beda dalam mendefinisikannya; di antaranya Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul-Nya. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya memperkenalkan satu segi saja, tetapi berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mendefinisikannya sedikit agak panjang, dan mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah.
Di kalangan para orientalis Barat, term Islam sering diidentikkan dengan istilah Muhamadanisme atau Muhamedan. Istilahan ini muncul karena pada umumnya agama di luar Islam namanya disandarkan pada nama pendirinya. Di Persia misalnya ada agama Zoroaster. Agama ini disandarkan pada nama pendirinya, Zarathustra (W.583 SM). Agama lainnya, misalnya agama Budha, agama ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya, Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM). Demikian pula nama agama Yahudi yang disandarkan pada orang-orang Yahudi (Jews) yang berasal dari negara Juda (Judea) atau Yahuda.
Penyebutan istilah Muhamadanisme dan Muhammedan untuk agama Islam, bukan saja tidak tepat, akan tetapi secara prinsip hal itu merupakan kesalahan besar. Istilah tersebut bisa mengandung arti bahwa Islam adalah ciptaan Muhamad atau pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana perkataan agama Budha yang mengandung arti agama yang dibangun oleh Sidharta Gautama Budha atau paham yang berasal dari Sidharta Gautama. Analogi nama dengan agama-agama lainnya tidaklah mungkin bagi Islam.
Selanjutnya, dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. pada berbagai kelompok manusia dan berbagai bangsa yang ada di dunia ini. Islam adalah agama Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Isa, Nabi Muhammad SAW. Sebagai Nabi terakhir. Dengan kata lain, seluruh Nabi dan Rasul beragama Islam dan mengemban risalah menyampaikan Islam. Hal itu dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa para Nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah.
Dengan demikian, makna Islam secara bahasa berarti tunduk, patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah, Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi Muhammad saja, tapi diturunkan pula kepada seluruh Nabi dan Rasul. Al Qur’an menyatakan bahwa:
Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam. (Ali Imran (3):19).
Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. (Ali ‘Imraan (3): 85).
Itulah salah satu keistimewaan agama Islam adalah agama yang diwahyukan dari Allah SWT, bukan diindentikan dengan tokoh atau pembawanya. Berbeda dengan agama lain, nama agama ini bukan berasal dari nama pendirinya atau nama tempat penyebarannya. Tapi, Islam menunjukkan sikap dan sifat pemeluknya terhadap Allah. Yang memberi nama Islam juga bukan seseorang, bukan pula suatu masyarakat, tapi Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta dan segala isinya. Jadi, Islam sudah dikenal sejak sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. dengan nama yang diberikan Allah SWT.
Dengan demikian,  dalam makna Islam memiliki enam prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami secara konfrehensif (menyeluruh) dan utuh, yaitu:
1)      Islam adalah Ketundukan
Allah SWT. menciptakan alam semesta, kemudian menetapkan manusia sebagai hambaNya yang paling besar perannya di muka bumi. Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dengan alam semesta di sekitarnya, kemudian berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Penciptanya. Tatkala salah berinteraksi dengan Allah, kebanyakan manusia beranggapan alam sebagai Tuhannya sehingga mereka menyembah sesuatu dari alam. Ada yang menduga-duga sehingga banyak di antara mereka yang tersesat. Ajaran yang benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepada-Nya alam tunduk patuh berserah diri (lihat surat An-Nisa (4): 125). Maka, Islam identik dengan ketundukan kepada sunnatullah yang terdapat di alam semesta (tidak tertulis) maupun Kitabullah yang tertulis (Alquran).
2)      Islam adalah Wahyu Allah
Dengan kasih sayangnya, Allah menurunkan Ad-Dien (aturan hidup) kepada manusia. Tujuannya agar manusia hidup teratur dan menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya. Aturan itu meliputi seluruh bidang kehidupan: politik, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya. Dengan demikian, manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun, dan bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya (lihat surat Al-Baqarah (2): 38). Karena kebijaksanaan-Nya, Allah tidak menurunkan banyak agama. Dia hanya menurunkan Islam. Agama selain Islam tidak diakui di sisi Allah dan akan merugikan penganutnya di akhirat nanti. Islam merupakan satu-satunya agama yang bersandar kepada wahyu Allah secara murni. Artinya, seluruh sumber nilai dari nilai agama ini adalah wahyu yang Allah turunkan kepada para Rasul-Nya terdahulu. Dengan kata lain, setiap Nabi adalah muslim dan mengajak kepada ajaran Islam. Ada pun agama-agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani, adalah penyimpangan dari ajaran wahyu yang dibawa oleh para nabi tersebut.
3)      Islam adalah Agama Para Nabi dan Rasul
Perhatikan kesaksian Alquran berikut ini bahwa Nabi Ibrahim adalah muslim, bukan Yahudi atau pun Nasrani.
Dan Ibrahim Telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Al-Baqarah (2): 132).
Para Nabi dan Rasul lain pun mendakwahkan ajaran Islam kepada manusia. Mereka mengajarkan agama sebagaimana yang dibawa Nabi Muhammad saw. Hanya saja, dari segi syariat (hukum dan aturan) belum selengkap yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Tetapi, ajaran prinsip-prinsip keimanan dan akhlaknya sama. Nabi Muhammad saw. datang menyempurnakan ajaran para Rasul, menghapus syariat yang tidak sesuai dan menggantinya dengan syariat yang baru.
4)      Islam adalah Hukum-hukum Allah
Orang yang ingin mengetahui apa itu Islam hendaknya melihat Kitabullah Alquran dan Sunnah Rasulullah. Keduanya, menjadi sumber nilai dan sumber hukum ajaran Islam. Islam tidak dapat dilihat pada perilaku penganut-penganutnya, kecuali pada pribadi Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Nabi Muhammad SAW. bersifat ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dalam mengamalkan Islam. Beliau membangun masyarakat Islam yang terdiri dari para sahabat yang langsung terkontrol perilakunya oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi, para sahabat Nabi tidaklah ma’shum bagaimana Nabi, tapi mereka istimewa karena merupakan pribadi-pribadi dididik langsung Nabi Muhammad. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan penduduk, rohani dan amal, Alquran dan pedang. Pemahaman yang seperti ini telah dibuktikan dalam hidup Nabi, para sahabat, dan para pengikut mereka yang setia sepanjang zaman.
5)      Islam adalah Jalan Allah Yang Lurus
Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup bagi seorang muslim. Baginya, tidak ada agama lain yang benar selain Islam. Karena ini merupakan jalan Allah yang lurus yang diberikan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Allah berfirman:
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al-An’am: 153).
6)      Islam Adalah Agama Membawa Keselamatan Dunia dan Akhirat
Sebagaimana sifatnya yang bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik dan kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang disebut Daarus Salaam.
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (Yunus: 25)
Dengan ke-enam prinsip di atas, kita dapat memahami kemuliaan dan keagungan ajaran agama Allah ini. Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada kerendahan di dalamnya.” Sebagai ajaran, Islam tidak terkalahkan oleh agama lain. Maka, setiap muslim wajib meyakini keagungan dan kesempurnaan Islam dari agama lain.
Pandangan Islam tentang Aksi Radikalisme
Akhir-akhir ini, aksi kekerasan dan radikal atasnama agama yang sering terjadi dibeberapa belahan dunia Islam, termasuk di negeri kita ini dan nampaknya aksi kekerasan tersebut sulit untuk dibendung dan hentikan. Menurut penulis, meskipun agama menganjurkan perdamaian bagi umatnya, namun hal itu disebabkan dalam agama adanya “sensitifitas” dalam pola keberagamaan umat. Hal ini juga diperparah oleh “tafsir eksklusif” terhadap beberapa ayat dalam teks kitab suci agama. Aksi serta gerakan radikal Islam atasnama agama karena adanya belum paham atau mungkin ketidakpahaman terhadap esensi agama, serta pemikiran untuk mendirikan negara Islam. Pemahaman dan Pembacaan Islam secara politis-kekuasaan akan lebih mendorong umat untuk memahami Islam secara syariah-sentris (normatif). Hal ini akan memunculkan kecenderungan pandangan yang serba “hitam putih”, sehingga akan sangat mudah menyalahkan yang lain. Hal inilah yang memicu adanya tindak kekerasan di masyarakat. Karena aksi kekerasan tersebut menyangkut pandangan seseorang, maka aksi radikalisme sulit untuk dihilangkan. Kesulitan menghilangkan tindak kekerasan (radikalisme) tersebut, sama sulitnya dengan menghilangkan kemiskinan, karena hal itu akan terus hadir dalam kehidupan manusia. Di lain hal, aksi radikalisme merupakan masalah opini seseorang. Artinya tanggapan seseorang terhadap suatu hal, termasuk ayat jihad dalam Islam, bisa memacu aksi ini. Hal ini justru merupakan faktor yang paling kuat. sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan counter opini. Yakni menghadirkan opini pembanding terhadap opini publik yang cenderung mentafsirkan teks agama secara radikal.
Islam, disebarkan di tanah air khususnya dengan cara damai dan memang Islam artinya kedamaian. Islam didakwahkan tidak dengan paksaan apalagi dengan pedang dan kekerasan, sebagaimana yang digambarkan oleh dunia Barat, tapi dengan ragam strategi dan metode, diantaranya dengan budaya dan kesenian. Begitulah gaya dakwah Walisongo dalam membumikan Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan kesenian wayang, gamelan, tembang-tembang Jawa ketika berdakwah di tanah Jawa. Demikian pula dengan sunan Muria, dan para founding fathers Islam nusantara itu.
Rahimi Sabirin dalam bukunya berjudul Islam dan Radikalisme (2004), menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Menurut hemat penulis, pada umumnya radikalisme muncul dari pemahaman agama yang bersifat leksikal dan tekstual di satu sisi, dan disisi yang mereka bersikap fanatik, intoleran dan eksklusif. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan, karena itu mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai sesat. Dalam sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.
Dalam konteks sejarah, sikap fanatik, intoleran dan eksklusif dalam masyarakat Islam pertama kali tampak dalam kaum Khawarij sejak abad pertama Hijriyah.  Kaum Khawarij pada mulanya merupakan pengikut Khalifah Ali bin Abu Thalib (sering disebut sebagai kelompok Syi’ah). Sejarah tentang Khawarij berawal dari perang Shiffin. yaitu perang antara pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah, pada tahun 37 H/648 H.
Ketika perang berlangsung dan kelompok Ali bin Abi Thalib hampir memenangkan perang, Muawiyah menawarkan perundingan sebagai penyelesaian permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah. Kesediaan Ali untuk berunding menyebabkan kurang lebih empat ribu pengikut Ali memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal dengan Khawarij (artinya keluar atau membelot). Kelompok ini menolak perundingan. Bagi mereka, permusuhan hanya bisa diselesaikan dengan Kehendak Tuhan, bukan perundingan.  Karena kelompok Ali melakukan perundingan, maka dianggap sebagai kafir, dan dituduh sebagai pengecut. Kafir dan pengecut dipakai oleh kelompok Khawarij untuk kelompok-kelompok moderat. Kelompok Khawarij pun melalukan teror dan kekerasan terhadap orang-orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka bahkan memasukkan “Jihad” sebagai  rukun iman.  Dan, Ali bin Abu Thalib pun dibunuh oleh seorang Khawarij, yakni Ibnu Muljam, ketika beliau sedang shalat subuh.
Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij, di abad modern ternyata diadopsi oleh faham Wahabi di Arab Saudi pada abad ke12 H/18 M yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini bermaksud memurnikan ajaran Islam, dan menuduh kaum muslim yang tidak sependapat dengan mereka disebut sebagai Islam menyimpang, tidak murni dan bahkan sesat. Dan hingga sekarang, radikalisme Islam terus bermunculan dan berkembang dengan cepat. Radikalisme demikian tidak mudah dihilangkan karena terkait dengan pemahaman teologi dan syariat Islam yang kaku. Kekuasaan Barat yang semakin dominan menguasai Islam, menjadikan kekuatan radikalisme ini semakin menguat.

Dari uraian di atas, menggambarkan dengan jelas bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, kesejahteraan dan keselamatan bagi segenap manusia di dunia dan akhirat. Sehingga menurut menurut hemat penulis, gerakan radikal, kekerasan bahkan aksi teror tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Alasanya adalah sebab aksi dan gerakan tersebut, murni bukan ajaran Islam, namun lebih dilatarbelangi oleh hal lain, seperti politik serta hegemoni Barat atas Islam dan umatnya. Dan kalaupun ada sebagian umat Islam melakukan tindakan kekerasan, radikal dan teror, hal itu akan membuat “citra negatif” Islam dan umatnya secara keseluruhan di mata umat agama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar