Islam Dan Radikalisme
Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag
(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID
Sirnarasa Ciamis)
Term Islam dibedah dari dua aspek, yaitu
aspek bahasa (etimologi) dan aspek istilah (terminologi). Dari segi bahasa, istilah
Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang berarti selamat,
sejahtera, dan damai. Dari kata salima
selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama
yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu
orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah SWT. disebut sebagai
orang Muslim. Dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merahnya bahwa kata
Islam dari segi bahasa mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri
kepada Allah SWT. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri,
bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah
dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan
tunduk kepada Allah.
Adapun term Islam dari segi istilah, para ahli berbeda-beda
dalam mendefinisikannya; di antaranya Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul-Nya.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya memperkenalkan
satu segi saja, tetapi berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana
Muhammad Ali mendefinisikannya sedikit agak panjang, dan mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan
kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam
selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh
Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala
sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah.
Di kalangan para
orientalis Barat, term Islam sering diidentikkan
dengan istilah Muhamadanisme atau Muhamedan. Istilahan ini muncul karena
pada umumnya agama di luar Islam namanya disandarkan pada nama pendirinya. Di
Persia misalnya ada agama Zoroaster. Agama ini disandarkan pada nama
pendirinya, Zarathustra (W.583 SM). Agama lainnya, misalnya agama Budha, agama
ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya, Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM).
Demikian pula nama agama Yahudi yang disandarkan pada orang-orang Yahudi (Jews)
yang berasal dari negara Juda (Judea) atau Yahuda.
Penyebutan istilah Muhamadanisme
dan Muhammedan untuk agama Islam, bukan saja tidak tepat, akan tetapi secara
prinsip hal itu merupakan kesalahan besar. Istilah tersebut bisa mengandung arti
bahwa Islam adalah ciptaan Muhamad atau pemujaan terhadap Muhammad, sebagaimana
perkataan agama Budha yang mengandung arti agama yang dibangun oleh Sidharta
Gautama Budha atau paham yang berasal dari Sidharta Gautama. Analogi nama
dengan agama-agama lainnya tidaklah mungkin bagi Islam.
Selanjutnya, dilihat
dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama
dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. pada berbagai
kelompok manusia dan berbagai bangsa yang ada di dunia ini. Islam adalah agama
Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi
Isa, Nabi Muhammad SAW. Sebagai Nabi terakhir. Dengan kata lain, seluruh Nabi
dan Rasul beragama Islam dan mengemban risalah menyampaikan Islam. Hal itu
dapat dipahami dari ayat-ayat yang terdapat di dalam Al Qur’an yang menegaskan
bahwa para Nabi tersebut termasuk orang yang berserah diri kepada Allah.
Dengan demikian, makna Islam secara bahasa berarti tunduk,
patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah, Islam adalah agama yang
diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan sesuai fitrah
kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi Muhammad saja, tapi diturunkan
pula kepada seluruh Nabi dan Rasul. Al Qur’an menyatakan bahwa:
Sesungguhnya
agama di sisi Allah (hanyalah) Islam. (Ali Imran (3):19).
Barang
siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya. (Ali ‘Imraan (3): 85).
Itulah salah
satu keistimewaan agama Islam adalah agama yang diwahyukan dari Allah SWT,
bukan diindentikan dengan tokoh atau pembawanya. Berbeda dengan agama lain,
nama agama ini bukan berasal dari nama pendirinya atau nama tempat
penyebarannya. Tapi, Islam menunjukkan sikap dan sifat pemeluknya terhadap
Allah. Yang memberi nama Islam juga bukan seseorang, bukan pula suatu
masyarakat, tapi Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Jadi, Islam sudah dikenal sejak sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. dengan nama
yang diberikan Allah SWT.
Dengan
demikian, dalam makna Islam memiliki enam
prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami secara konfrehensif (menyeluruh) dan
utuh, yaitu:
1) Islam
adalah Ketundukan
Allah SWT. menciptakan
alam semesta, kemudian menetapkan manusia sebagai hambaNya yang paling besar
perannya di muka bumi. Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dengan alam
semesta di sekitarnya, kemudian berusaha mencari jalan untuk kembali kepada
Penciptanya. Tatkala salah berinteraksi dengan Allah, kebanyakan manusia
beranggapan alam sebagai Tuhannya sehingga mereka menyembah sesuatu dari alam.
Ada yang menduga-duga sehingga banyak di antara mereka yang tersesat. Ajaran
yang benar adalah ikhlas berserah diri kepada Pencipta alam yang kepada-Nya
alam tunduk patuh berserah diri (lihat surat An-Nisa (4): 125). Maka, Islam
identik dengan ketundukan kepada sunnatullah yang terdapat di alam semesta
(tidak tertulis) maupun Kitabullah yang tertulis (Alquran).
2) Islam
adalah Wahyu Allah
Dengan kasih
sayangnya, Allah menurunkan Ad-Dien (aturan hidup) kepada manusia. Tujuannya
agar manusia hidup teratur dan menemukan jalan yang benar menuju Tuhannya.
Aturan itu meliputi seluruh bidang kehidupan: politik, hukum, sosial, budaya,
dan sebagainya. Dengan demikian, manusia akan tenteram dan damai, hidup rukun,
dan bahagia dengan sesamanya dalam naungan ridha Tuhannya (lihat surat Al-Baqarah
(2): 38). Karena kebijaksanaan-Nya, Allah tidak menurunkan banyak agama. Dia
hanya menurunkan Islam. Agama selain Islam tidak diakui di sisi Allah dan akan
merugikan penganutnya di akhirat nanti. Islam merupakan satu-satunya agama yang
bersandar kepada wahyu Allah secara murni. Artinya, seluruh sumber nilai dari
nilai agama ini adalah wahyu yang Allah turunkan kepada para Rasul-Nya
terdahulu. Dengan kata lain, setiap Nabi adalah muslim dan mengajak kepada
ajaran Islam. Ada pun agama-agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani, adalah
penyimpangan dari ajaran wahyu yang dibawa oleh para nabi tersebut.
3)
Islam adalah Agama Para Nabi dan Rasul
Perhatikan kesaksian Alquran
berikut ini bahwa Nabi Ibrahim adalah muslim, bukan Yahudi atau pun Nasrani.
Dan Ibrahim Telah mewasiatkan ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah Telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Al-Baqarah (2): 132).
Para Nabi dan
Rasul lain pun mendakwahkan ajaran Islam kepada manusia. Mereka mengajarkan
agama sebagaimana yang dibawa Nabi Muhammad saw. Hanya saja, dari segi syariat
(hukum dan aturan) belum selengkap yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Tetapi,
ajaran prinsip-prinsip keimanan dan akhlaknya sama. Nabi Muhammad saw. datang
menyempurnakan ajaran para Rasul, menghapus syariat yang tidak sesuai dan
menggantinya dengan syariat yang baru.
4)
Islam adalah Hukum-hukum Allah
Orang yang
ingin mengetahui apa itu Islam hendaknya melihat Kitabullah Alquran dan Sunnah
Rasulullah. Keduanya, menjadi sumber nilai dan sumber hukum ajaran Islam. Islam
tidak dapat dilihat pada perilaku penganut-penganutnya, kecuali pada pribadi
Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Nabi Muhammad SAW. bersifat ma’shum
(terpelihara dari kesalahan) dalam mengamalkan Islam. Beliau membangun
masyarakat Islam yang terdiri dari para sahabat yang langsung terkontrol
perilakunya oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi, para sahabat Nabi tidaklah ma’shum
bagaimana Nabi, tapi mereka istimewa karena merupakan pribadi-pribadi dididik
langsung Nabi Muhammad. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan penduduk,
rohani dan amal, Alquran dan pedang. Pemahaman yang seperti ini telah
dibuktikan dalam hidup Nabi, para sahabat, dan para pengikut mereka yang setia
sepanjang zaman.
5)
Islam adalah Jalan Allah Yang Lurus
Islam
merupakan satu-satunya pedoman hidup bagi seorang muslim. Baginya, tidak ada
agama lain yang benar selain Islam. Karena ini merupakan jalan Allah yang lurus
yang diberikan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Allah
berfirman:
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah
jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al-An’am: 153).
6)
Islam Adalah Agama Membawa Keselamatan Dunia dan Akhirat
Sebagaimana
sifatnya yang bermakna selamat sejahtera, Islam menyelamatkan hidup manusia di
dunia dan di akhirat. Keselamatan dunia adalah kebersihan hati dari noda syirik
dan kerusakan jiwa. Sedangkan keselamatan akhirat adalah masuk surga yang
disebut Daarus Salaam.
Allah menyeru (manusia) ke darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam). (Yunus: 25)
Dengan
ke-enam prinsip di atas, kita dapat memahami kemuliaan dan keagungan ajaran
agama Allah ini. Nabi Muhammad SAW. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada kerendahan di dalamnya.” Sebagai
ajaran, Islam tidak terkalahkan oleh agama lain. Maka, setiap muslim wajib
meyakini keagungan dan kesempurnaan Islam dari agama lain.
Pandangan Islam tentang Aksi Radikalisme
Akhir-akhir
ini, aksi kekerasan dan radikal atasnama agama yang sering terjadi dibeberapa
belahan dunia Islam, termasuk di negeri kita ini dan nampaknya aksi kekerasan
tersebut sulit untuk dibendung dan hentikan. Menurut penulis, meskipun agama
menganjurkan perdamaian bagi umatnya, namun hal itu disebabkan dalam agama adanya
“sensitifitas” dalam pola
keberagamaan umat. Hal ini juga diperparah oleh “tafsir eksklusif” terhadap beberapa ayat dalam teks kitab suci agama.
Aksi serta gerakan radikal Islam atasnama agama karena adanya belum paham atau
mungkin ketidakpahaman terhadap esensi agama, serta pemikiran untuk mendirikan
negara Islam. Pemahaman dan Pembacaan Islam secara politis-kekuasaan akan lebih
mendorong umat untuk memahami Islam secara syariah-sentris
(normatif). Hal ini akan memunculkan kecenderungan pandangan yang serba “hitam putih”, sehingga akan sangat mudah
menyalahkan yang lain. Hal inilah yang memicu adanya tindak kekerasan di
masyarakat. Karena aksi kekerasan tersebut menyangkut pandangan seseorang, maka
aksi radikalisme sulit untuk dihilangkan. Kesulitan menghilangkan tindak
kekerasan (radikalisme) tersebut, sama sulitnya dengan menghilangkan
kemiskinan, karena hal itu akan terus hadir dalam kehidupan manusia. Di lain
hal, aksi radikalisme merupakan masalah opini seseorang. Artinya tanggapan
seseorang terhadap suatu hal, termasuk ayat jihad dalam Islam, bisa memacu aksi
ini. Hal ini justru merupakan faktor yang paling kuat. sehingga yang bisa
dilakukan adalah dengan counter opini.
Yakni menghadirkan opini pembanding terhadap opini publik yang cenderung mentafsirkan
teks agama secara radikal.
Islam, disebarkan
di tanah air khususnya dengan cara damai dan memang Islam artinya kedamaian. Islam didakwahkan tidak dengan
paksaan apalagi dengan pedang dan kekerasan, sebagaimana yang digambarkan oleh
dunia Barat, tapi dengan ragam strategi dan metode, diantaranya dengan budaya
dan kesenian. Begitulah gaya dakwah Walisongo
dalam membumikan Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan
kesenian wayang, gamelan, tembang-tembang Jawa ketika berdakwah di tanah Jawa. Demikian
pula dengan sunan Muria, dan para founding fathers Islam nusantara
itu.
Rahimi Sabirin dalam
bukunya berjudul Islam dan Radikalisme
(2004), menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan
yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau
menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu
merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap
eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam
kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuan.
Menurut hemat penulis, pada umumnya radikalisme muncul dari
pemahaman agama yang bersifat leksikal dan tekstual di satu sisi, dan disisi
yang mereka bersikap fanatik, intoleran dan eksklusif. Kaum radikal selalu
merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan, karena itu mereka
suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai sesat. Dalam
sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam
pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam
tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.
Dalam konteks sejarah, sikap fanatik, intoleran dan
eksklusif dalam masyarakat Islam pertama kali tampak dalam kaum Khawarij sejak
abad pertama Hijriyah. Kaum Khawarij pada mulanya merupakan pengikut
Khalifah Ali bin Abu Thalib (sering disebut sebagai kelompok Syi’ah). Sejarah
tentang Khawarij berawal dari perang Shiffin. yaitu perang antara pasukan Ali
melawan pasukan Muawiyah, pada tahun 37 H/648 H.
Ketika perang berlangsung dan kelompok Ali bin Abi Thalib hampir
memenangkan perang, Muawiyah menawarkan perundingan sebagai penyelesaian
permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah. Kesediaan Ali untuk berunding
menyebabkan kurang lebih empat ribu pengikut Ali memisahkan diri dan membentuk
kelompok baru yang dikenal dengan Khawarij (artinya keluar atau membelot).
Kelompok ini menolak perundingan. Bagi mereka, permusuhan hanya bisa
diselesaikan dengan Kehendak Tuhan, bukan perundingan. Karena kelompok
Ali melakukan perundingan, maka dianggap sebagai kafir, dan dituduh sebagai pengecut.
Kafir dan pengecut dipakai oleh kelompok Khawarij untuk kelompok-kelompok
moderat. Kelompok Khawarij pun melalukan teror dan kekerasan terhadap
orang-orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka bahkan memasukkan
“Jihad” sebagai rukun iman. Dan,
Ali bin Abu Thalib pun dibunuh oleh seorang Khawarij, yakni Ibnu Muljam, ketika beliau sedang
shalat subuh.
Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij, di abad modern
ternyata diadopsi oleh faham Wahabi di Arab Saudi pada abad ke12 H/18 M yang
dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini bermaksud memurnikan ajaran
Islam, dan menuduh kaum muslim yang tidak sependapat dengan mereka disebut
sebagai Islam menyimpang, tidak murni dan bahkan sesat. Dan hingga sekarang,
radikalisme Islam terus bermunculan dan berkembang dengan cepat. Radikalisme
demikian tidak mudah dihilangkan karena terkait dengan pemahaman teologi dan
syariat Islam yang kaku. Kekuasaan Barat yang semakin dominan menguasai Islam,
menjadikan kekuatan radikalisme ini semakin menguat.
Dari uraian di
atas, menggambarkan dengan jelas bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
perdamaian, kesejahteraan dan keselamatan bagi segenap manusia di dunia dan
akhirat. Sehingga menurut menurut hemat penulis, gerakan radikal, kekerasan
bahkan aksi teror tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam. Alasanya adalah
sebab aksi dan gerakan tersebut, murni bukan ajaran Islam, namun lebih
dilatarbelangi oleh hal lain, seperti politik serta hegemoni Barat atas Islam
dan umatnya. Dan kalaupun ada sebagian umat Islam melakukan tindakan kekerasan,
radikal dan teror, hal itu akan membuat “citra
negatif” Islam dan umatnya secara keseluruhan di mata umat agama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar